Saturday, January 5, 2013

KERAJAAN ADONARA(1650-KINI)

  • Sejarah Tempatan di Adonara didokumentasikan dari abad 16, ketika pedagang Portugis dan misionaris mendirikan penempatan di pulau terdekat Solor. Pada saat itu Adonara dan pulau-pulau di sekitarnya ritual dibagi antara populasi penduduk pesisir dikenal sebagai Paji, dan berpenduduk terutama penyelesaian pedalaman pegunungan disebut Demon. Para Paji keseluruhannya menganut agama Islam, sementara demon  cenderung tunduk di bawah pengaruh Portugis. Daerah Paji di Adonara berisi tiga kerajaan, yaitu Adonara tepat (berpusat di pantai utara pulau), dan Terong dan Lamahala (di pantai selatan). Bersama dua kerajaan di Solor, Lohayong dan Lamakera, mereka merupakan lima kerajaan  yang disebut Watan Lema (“lima pantai”). Para Watan Lema bersekutu dengan Belanda East India Company (VOC). Kerajaan-kerajaan Adonara memiliki permusuhan sering dengan Portugis di Larantuka di Flores, dan tidak selalu taat kepada penguasa Belanda. Dalam perjalanan abad 19, penguasa Adonara (tepat) di utara memperkuat posisinya di kepulauan Solor. saat itu, ia juga raja dari bagian timur Flores dan Lembata. Daerah demon berdiri di bawah kekuasaan raja dari kerajaan Larantuka, yang pada gilirannya berada di bawah kekuasaan Portugis hingga 1859, ketika menyerahkan ke Belanda. Kerajaan-kerajaan dari Larantuka dan Adonara (tepat) dihapuskan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1962. Beberapa pasca kemerdekaan pejabat setempat melacak akar mereka kepada para penguasa masa lalu, yang disebut raja, dari Adonara (tepat). Ini termasuk Raja-Raja yang menguasai kerajaan adonara:
  •  Foramma, c. 1650
  •     Boli saya, c. 1671-1684
  •     Eke 1684-1688 (dibunuh oleh orang gunung)
  •     Gogok, c. 1702
  •     Wuring (saudara Eke), 1688-1719
  •     Boli II (anak dari Wuring), 1719-setelah 1756 diketahui penguasa
  •     Jou, c. 1815
  •     Lakabella Jou (anak dari Jou), c. 1832
  •     Begu, d. 28 Juli 1850 (dibunuh)
  •     Pela (ng) (anak Begu), 1850-1857
  •     Jou (saudara Pela), 1857-1868
  •     Kamba Begu (saudara Lakabella), 1868-1893
  •     Bapa Tuan (anak dari Kamba Begu), sementara Raja pada tahun 1893 selama 6 bulan
  •     Arkiang Kamba (Arakang; saudara Bapa Tuan, b 1866.), 1893 atau 1894 – melepasnya 18 Desember 1930
  •     Bapa Ana (anak dari saudara perempuan dari Kamba Begu), Bupati dengan gelar Kapitan 1930 – 1 Desember 1935, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tahun 1935 dan dikirim ke Kupang
  •     Bapa Nuhur, (anak Gela, putra Bapa Tuan, b. 1915), 1941-1947
  •     Bapa Kaya, (anak dari Bapa Ana, d. 1954/12/01), Bupati 1947-1951
  •     Mohamad Eke (cicit Raja Jo, 1929 -. C 1985), 1951-1962, pertama disebut Pemerintah Asst selama pemerintahan Bapa Kaya dan juga dari Kapitan Adonara

KERAJAAN TANAH BUMBU(1660-1780)

Raja Tanah Bumbu


Wilayah Kerajaan Tanah Bumbu
  • Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus?) bin Sultan Saidullah (1660-1700). Ia diutus Sultan Banjar mengamankan wilayah tenggara Kalimantan dari para pendatang atas permintaan penduduk tempatan iaitu orang Dayak Samihim (golongan Dusun Maanyan) yang tinggal dahulu tinggal di kota Pamukan di sungai Cengal yang telah dihancurkan oleh para penyerang dari laut. Kemudian kedatangan rombongan Pangeran Dipati Tuha melalui jalan darat yang berasal dari Kelua (utara Kalsel) dan menetap di Sampanahan pada sebuah sungai kecil bernama sungai Bumbu sehingga wilayah ini kemudian dinamakan Kerajaan Tanah Bumbu berdasarkan nama sungai Bumbu tersebut dengan wilayah kekuasaan membentang dari Tanjung Aru hingga Tanjung Silat. Pangeran Dipati Tuha memiliki dua putera  Pangeran Mangu dan Pangeran Citra. Setelah berhasil mengamankan Tanah Bumbu dari pendatang, Pangeran Citra kembali ke tanah tumpah  milik ayahnya Pangeran Dipati Tuha yaitu negeri Kalua dan menjadi sultan negori Kloeak. Sedangkan Pangeran Mangu dipersiapkan sebagai Raja Tanah Bumbu berikutnya.[4]
  • Pangeran Mangu bin Pangeran Dipati Tuha (1700-1740); memiliki anak bernama Ratu Mas. Ratu Mas bersaudara dengan Ratu Sepuh.[4]
  • Ratu Mas binti Pangeran Mangu (1740-1780); Ratu Mas menikah dengan seorang pedagang dari Gowa bernama Daeng Malewa yang bergelar Pangeran Dipati; pasangan ini memperoleh anak bernama Ratu Intan I. Dari dua istri orang bawahan, Daeng Malewa memiliki putra  Pangeran Prabu dan Pangeran Layah. Ratu Intan I menikahi Aji Dipati yang bergelar Sultan Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III tahun 1768-1799). Pernikahan Ratu Intan I dengan Sultan Anom tidak memiliki keturunan, tetapi dari istri  Sultan Anom memiliki anak bernama: Pangeran Aji Muhammad, Andin Kedot, Andin Girok, dan Andin Proah. Pangeran Layah memiliki anak bernama: Gusti Cita (putri) dan Gusti Tahora (putra). Sepeninggal Ratu Mas, maka sejak 1780, kerajaan Tanah Bumbu dibagikan menjadi beberapa division (negeri). Ratu Intan I memperoleh negeri Cantung dan Batulicin.[4] Ratu Intan I masih dikenang dalam ingatan suku Dayak Meratus.[5] Pangeran Layah memperoleh negeri Buntar Laut. Sedangkan Pangeran Prabu bergelar Sultan Sepuh sebagai Raja Sampanahan, Bangkalaan, Manunggul dan Cengal.[4]

KESULTANAN KOTAWARINGIN(1637-1948-KINI)

 bendera Kota Waringin

[Kota Waringin State flag]
                        bendera negeri
[Kota Waringin Sultan's flag]
                    bendera sultan
KRONOLOGI

1637                       KESULTANAN Kota Waringin ditubuhkan.
Jul 2010                   dinamakan semula sebagai Kutaringin.

 
pemerintah (gelaran Pangeran)
1)1637 - 1650                Dipati Anta Kasuma bin Sultan
                             Mustambillah
2)1650 - 1700                Mas Adipati
 

pemerintah(gelaran Panembahan)

3)1700 - 1720                Kota Waringin
 
4)1720 - 1750                Derut

  pemerintah(gelaran Pangeran, dari 1785 Pangeran Ratu)

5)1750 - 1770                Adipati Muda

6)1770 - 1785                Panghulu 

 
7)1785 - 1792                Ratu Bagawan


8)1792 - 1817                Ratu Anom Kusuma Yuda

9)1817 - 1855                Ratu Anom Imamuddin

10)1855 - 1865                Ratu Anom Herman Syah

11)1865 - 1904                Ratu Anom Alam Syah I

12)1904 - 1913                Ratu Sikma Negara

13)1913 - 1939                
Ratu Sikma Alam Syah

14)1939 - 1948                
Ratu Kasuma Anom Alam Syah II           (d. 1975)

1948 - 2010
               Interregnum

Sultan

15)Jul 2010 -                 Ratu Alidin Sukuma
Alam Syah



Kesultanan Kotawaringin, satu-satunya kerajaan yang masih ada di Provisi Kaltimantan tengah, bahkan masih terpelihara dengan baik. Bahkan semasa penjajahan Belanda, daerah ini terlepas dari rencana pengkristianan Dayak Besar. Hingga kini kita dapat melihat dan menyaksikan tapak sejarah beserta benda-benda peninggalannya. 

Menyusuri Sungai Arut sepanjang ratusan kilometer yang membelah Kota Pangkalan Bun, sampailah kita di Kecamatan Kotawaringin Lama dengan Astana Al Noorsari-nya yang masih berdiri kokoh. Astana Al Noorsari adalah bekas keraton Kesultanan Kotawaringin sebelum pusat kekuasaannya pindah ke Pangkalan Bun tahun 1679 M/1171 H.

Di daerah ini, kita juga masih akan menemukan catatan sejarah lainnya. Terdapat makam Sultan-sultan Kotawaringin yang bertulisan huruf Arab Melayu, makam Kyai  Grede seorang tokoh penyebar agama Islam sekitar abad ke 16. Kita juga dapat menemukan bangunan Masjid Djami Kotawaringin yang masih terbilang kokoh, meski hampir seusia ketika Kyai Gede menyebarkan Islam di daerah ini.
Dan, satu-satunya kerajaan yang pernah ada di provinsi kalimantan tengah ini, memerlukan waktu cukup panjang, satu setengah jam dari Kota Pangkalan Bun dengan pengankutan speed boat. Tak cuma imembicarakan Kesultanan Kotawaringin yang masih memiliki benang merah dengan kerajaan Banjar, tidak boleh tidak harus merunut sejarah kerajaan Banjar hingga kekuasaan Belanda turut campur tangan di daerah ini.

Seperti dituturkan Gusti Djendro Suseno yang masih keturunan Raja ke VII Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan, keturunan Raja Banjarlah yang mula pertama membangun Kesultanan Kotawaringin.
"Kesultanan Kotawaringin memiliki benang merah sejarah sangat kuat dengan Kerajaan Banjar, hal itu tak dapat dinafikan," ungkap Djendro Suseno yang juga anggota DPRD Tk II Kotawaringin Barat dari Fraksi Golkar. Namun dalam perjalanan selanjutnya, tak terelakkan terjadi asimilasi atau percampuran dengan masyarakat setempat yang adalah Suku Dayak.
Jadi menurutnya, tak dapat disangkal lagi, masyarakat yang kini bermukim memenuhi seantero Kab Kotawaringin Barat, sebagian besar adalah juga anak cucu keturunan Suku Dayak. "Untuk mempererat jalinan kerjasama dan memantapkan kekuasaan, kala itu anak-anak kepala suku atau demang diambil sebagai isteri mendampingi sang raja walau posisinya bukan sebagai isteri pertama," .
Pangeran Adipati Anta Kasuma

Adalah Sultan Musta'inubillah Raja Kerajaan Banjar yang berputera lima orang, diantaranya empat orang laki-laki ,Pangeran Adipati Tuha, Pangeran Adipati Anum, Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional), Pangeran Adipati Anta Kasuma dan Puteri Ratu Aju. Karena masing-masing Putra Mahkota berminat menjadi Sultan sebagai pemegang tertinggi tampuk kerajaan, membuat sang ayah harus berfikir  dengan bijaksana.
Akhirnya, merasa bukan putra tertua, Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memiliki keberanian dan semangat tinggi untuk menjadi seorang pemimpin, bertekat pergi mencari tempat dan mendirikan kerajaan baru. Dan memang, Pangeran Adipati Tuha lah sebagai putra tertua yang akhirnya memegang tampuk kekuasaan kerajaan Banjar.
Dengan restu kedua orang tua serta pejabat-pejabat Kerajaan Banjar, berangkatlah dia beserta pengawal dan beberapa perangkat peralatan kerajaan. Menggunakan perahu layar kerajaan, bertolaklah mereka menuju arah barat menyusuri pesisir pantai. Di sepanjang jalan yang mereka lalui, banyak tempat yang disinggahi antara lain Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit dan Kuala Pembuang.
Rombongan Pangeran Adipati meneruskan pelayaran ke arah barat, sampai akhirnya mendarat di sebuah daerah, dinamakan Kuala Pembuang. Daerah ini sudah ada penghuninya yang juga berkiblat di bawah kepemimpinan Kerajaan Banjar, sehingga kehadiran rombongan yang bermaksud mendirikan kerajaan baru ini ditolak oleh masyarakat setempat.

Panti Darah Janji Samaya

Tanpa mengenal putus asa, dengan semangat tinggi rombongan Pangeran Adipati kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, perjalanan tidak lagi menyusuri pantai tapi menuju hulu sungai hingga akhirnya sampai ke sebuah desa yang dinamakan Desa Pandau. Walau Desa Pandau telah dihuni masyarakat Suku Dayak yang dikenal dengan Suku Gambu, Arut, Anom dan lainnya sebanyak sembilan macam suku, di bawah kepemimpinan Demang Petinggi di Umpang menerima kehadiran rombongan Pangeran Adipati.
Seperti juga tertulis dalam catatan sejarah "Sekilas mengenang lahirnya Kerajaan Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan Humas dan Penerangan Setwilda Kobar 2001, Demang Petinggi sebagai kepala Suku Dayak menyerukan pada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati. Seruan Demang Petinggi ini didasarkan keinginan untuk mengangkat Pangeran sebagai raja tapi dengan syarat raja harus memperlakukan mereka bukan sebagai hamba, tetapi sebagai pembantu utama dan kawan terdekat atau sebagai saudara yang baik. Rakyat tidak akan menyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati.
"Usulan ini ditimbang dan diterima baik oleh Pangeran dan seluruh rombongan," ujar Djendro diiyakan Gusti Rasyidin yang juga anak keturunan kesultanan ini. Selepas persetujuan itu, dari pihak Suku Dayak Arut mengusulkan agar perjanjian ini bukan sekedar di bibir saja, melainkan harus bermaterai darah manusia yang diambil dari seorang dari Suku Dayak Arut dan seorang dari rombongan Pangeran Adipati Anta Kasuma.
"Perjanjian itu dinamakan Panti Darah Janji Samaya yang bererti perjanjian yang dikukuhkan dengan titisan darah yang bercampur jadi satu," ungkap Gusti Rasyidin yang ketika wawancara berlangsung ditemani Nurhadi dan Ahmad Yusuf di Astana Al Noorsari Kotawaringin Lama.
Dengan tersendat-sendat, cuba dia paparkan bagaimana perjanjian bermaterai darah itu berlangsung. Menurutnya, memang agak sukar diterima oleh akal, hanya demi sebuah janji harus mengorbankan dua manusia. Namun demikianlah adat yang berlaku, maka masing-masing kedua belah pihak menarik salah seorang pengikutnya untuk dijadikan korban perjanjian.
Sebelum kedua calon korban berdiri siap untuk dikorbankan, mereka mengambil sebuah batu yang harus ditancapkan ke tanah. Batu ini sebagai bukti atau perlambang turun temurun saksi sepanjang masa telah terjadi ikatan persaudaraan antara Suku Dayak dengan rombongan Pangeran Adipati dari Kerajaan Banjar. Dengan melakukan upacara adat yang hikmat, kedua calon korban berdiri di samping batu saksi yang kini dikenal dengan "Batu Pertahanan". Calon korban dari Suku Dayak berdiri menghadap ke hulu asal datangnya dan calon korban dari rombongan Pangeran berdiri menghadap ke hilir menunjukkan asal kedatangannya.
Selesai upacara sumpah setia, Kepala Suku Dayak mencabut mandaunya dan ditusukkan menembus ke dada korbannya, darah pun memancur deras. Korban dari pihak Pangeran Adipati pun ditusuk sehingga kedua darah korban ini memancur bersilang dan menetes jatuh menjadi satu membasahi tanah.
"Percampuran darah yang disaksikan kedua pihak inilah yang dimaksudkan untuk mempersatukan segala rasa dan fikiran dalam mewujudkan rencana bersama, membangunkan kerajaan," kata Rasyidin.

Terbentuk Kerajaan

Meskipun telah disepakati perjanjian antara kedua belah pihak, namun Desa Pandau masih dianggap belum  sesuai untuk membangun  sebagai kerajaan baru. Kedua rombongan yang telah terpadu dalam "Panti Janji Darah Samaya" milir mengikuti aliran Sungai Arut, kemudian mudik Sungai Lamandau, mencari daerah paling  sesuai untuk membangunkan kerajaan. Akhirnya, sampailah mereka di daerah yang meyakinkan iaitu Tanjung Pangkalan Batu yang kemudian hari dikenal sebagai Kotawaringin Lama. Berhentilah rombongan dan untuk beristirahat mereka membuat rumah di atas air yang biasa disebut "lanting".
"Ketika Pangeran Adipati naik ke darat, bertemulah dia dengan Kyai Gede seorang ulama penyebar agama Islam yang sudah lebih dulu tinggal di daerah itu," papar Rasyidin. Dan menurutnya, atas usulan Kyai Gede jugalah masyarakat sekitar yang dipimpin kepala suku, tidak perlu lagi membayar ufti ke Kerajaan Banjar, tapi ke Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memimpin langsung Kerajaan Kotawaringin sebagai raja pertamanya.
Kerajaan Kotawaringin yang berbasis Islam dengan didukung Kyai Gede sebagai Mangkubumi kerajaan, sebagaimana dipaparkan Gusti Djendro Suseno melakukan pencampuran dengan masyarakat suku asli yang masih menganut agama nenek moyang dan ini berlangsung hingga raja-raja berikutnya. Tercatat raja-raja yang berkuasa setelah kepemimpinan Pangeran Adipati Anta Kasuma. Pangeran Mas Adipati putra Pangeran Anta Kasuma yang menggantikan ayahndanya setelah mangkat, berkuasa dari 920-941 H. Kemudian Pangeran Panambahan Anum (942-975 H), Pangeran Prabu Anum (975-1005 H), Pangeran Adipati Anum (1005-1050 H), Pangeran Penghulu (1050-1069 H), Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan (1069-1116 H), Gusti Musaddam Gelar Pangeran Ratu Anum Kusuma (1116-1171 H).
Namun dalam perjalanan selanjutnya, ketika ibukota kerajaan pindah ke Pangkalan Bun di bawah kepemimpinan Pangeran Ratu Imanuddin, yang menurut Djendro Suseno, pemerintahannya sangat pro pada pihak Belanda. Sehingga hubungannya dengan orang-orang Kotawaringin Lama menjadi tidak harmonis kereaa Kotawaringin lama sangat kontra dengan penjajah Belanda.
Setelah kepemimpinan Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin, menyusul bertahta Pangeran Ratu Achmad Hermansyah (1265-1281 H), Gusti Muhammad Sanusi Gelar Pra kasuma Yudha (1265-1281 H), Pangeran Pakusukma Negara (1281-1325 H), Pangeran Samudra Gelar Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (1325-1332 H) dan Pangeran Muhammad Gelar Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah (1332-1350 H).
"Pemindahan ibukota kerajaan ke Pangkalan Bun ini yang dijadikan sebagai titik tolak lahirnya Kabupaten Kotawaringin Barat, tahun 1679 M yang terbahagi atas Kec Arut Selatan, Delang, Lamandau, Kotawaringin Lama, Arut Utara, dan Balai Lama," 

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sebelum Tahun 1950

Peranan Di Bidang Pemerintahan
Kesultanan Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dengan satu kali perpindahan ibu kota dari Kotawaringin Lama ke Sukabuni Indra Sakti yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Sultan pertama Kesultanan Kotawaringin adalah Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin. Beliau memerintah dari tahun 1615-1630 M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede.
Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu di bangun Istana Luhur sebagai keratin Kesultanan Kotawaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban. (Bappeda : 2004 : 9-10)

Selain pembangunan fizik sultan juga menentukan batas-batas wilayah Kesultanan Kotawaringin yaitu :
1)      Sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarang Pruya (Kerajaan Sintang).
2)      Sebelah timur berbatasan dengan sengai Mendawai.
3)      Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Simbar (Kerajaan Matan).
4)      Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa. (Bappeda : 2004 : 10)

Sultan kedua adalah Pangeran Mas Adipati yang memerintah dari tahun 1630-1655 M dengan Mangkubumi Kyai Gede yang kemudia digantikan oleh Dipati Gading. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Panembahan Anum yang memerintah dari tahun 1655-1682 M dengan Mangkubumi Dipati Gading. Sultan Kotawaringin yang keempat adalah Pangeran Prabu yang memerintah dari tahun 1682-1699 M dengan Mangkubumi Pangeran Dira. Setelah beliau mangkat digantikan oleh Pangeran Dipati Tuha yang memerintah dari tahun 1699-1711 M dengan Mangkubumi Pangeran Cakra. Sultan Kotawaringin yang keenam adalah Pangeran Penghulu yang memerintah tahun 1711-1727 M. Keseluruhan sultan dari yang kedua hingga yang keenam dimakamkan di Kotawaringin, penulis sendiri tidak menemui penjelasan yang banyak tentang sultan kedua hingga yang keenam. Menurut Lontaan dan Sanusi pada masa-masa itu kesultanan berjalan lanc,ar aman dan tenteram tidak ada gangguan dari manapun.
Sultan Kotawaringin yang ketujuh adalah Pangeran Ratu Bengawan  yang memerintah dari tahun 1727-1761 M. Pada masa pemerintahan beliau Kesultanan Kotawaringin mengalami masa keemasan dengan melimpahruahnya hasil bumi dan lakunya hasil kerajinan dari Kotawaringin di pasar regional. Sistem pemerintahan telah menugaskan beberapa menteri yang mengepalai beberapa wilayah, seperti Menteri Kumai, Menteri Jelai dan lain sebagainya. (Bappeda : 2004 : 11) Namun pada masa pemerintahan belaiu inlah Kesultanan Kotawaringin diserahkan Kerajaan Banjar ke Hindia Belanda. Mulai saat itulah tanggungjawab pemerintahan harus dilakukan kepada Kawalan terus Hindia Belanda.

Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha menggantikan Pangeran Ratu Bengawan sebagai sultan kedelapan, beliau memerintah dari tahun1761-1805 M dengan Mangkubumi Pangeran Tapa Sana. Pada masa beliau di bangun pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang) sebagai tempat mendidik putra-putri kesultanan.

Pada masa Sultan kesembilan Pangeran Ratu Imanudin ibu kota Kesultanan Kotawaringin dipindahkan ketepian sungai Arut yang diberi nama Sukabumi Indra Sakti yang kemudian dikenal sebagai Pangkalan Bu’un. (wawancara dengan Gusti Awwannur : selasa 20 November 2007) Beliau memerintah dari tahun 1805-1841 M dibantu oleh Mangkubumi Pangeran Adipati Mohamad Saleh. Pada masa pemerintahannya di bangun Benteng Batu Beturus di sungai Lamandau dan membangun pertahanan di teluk Kumai, serta parit pertahanan di Sukamara untuk mengatasi lanun laut. Beliau juga membangun Istana Kuning dan rumah Raden Ratna Wilis untuk permaisuri beliau.
Sultan Kotawaringin yang kesepuluh adalah Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah dengan Mangkubumi Pangeran Paku Syukma Negara yang memerintah dari tahun 1847-1862 M. Setelah Sultan kesepuluh mangkat beliau digantikan dengan Pangeran Paku Syuma Negara dengan Mangkubumi Pangeran Prabunata yang memerintah dari tahun 1862-1867 M. Pangeran Ratu Anum Kesumayuda kemudian menggantikan kedudukan sultan kesepuluh menjadi sultan kesebelas dari tahun 1867-1904 M dengan dibantu Mangkubumi Pangeran Paku Sukma Negara yang kemudian digantikan oleh Pangeran Mangku Prabu Nata, pada masa beliau ini diselesaikan pembangunan masjid Jami dan di bangunkan Rumah Mangkubumi.
Setelah beliau mangkat terjadi perebutan tahta kerana beliau tidak memiliki anak laki-laki, akhirnya pihak Hindia Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan yang berhak naik tahta adalah keturunan dari Pangeran Imanudin. Sehingga Pangeran Paku Sukma Negara naik tahta kembali yang memerintah dari tahun 1904-1913 M dengan dibantu Mangkubumi Adipati Mangku Negara. Pangeran Paku Sukma Negara kemudian mengangkat ketiga putranya Pangeran Bagawan menjadi Raja Muda, Pangeran Kelana Perabu Wijaya Menjadi Perpatih dan Perdipati Menteri Dalam serta Pangeran Mohamad Zen menjadi Penghulu.
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah bin Pangeran Begawan diangkat menjadi sultan ketigabelas dengan Mangkubumi Pangeran Adipati Mangkunegara yang memerintah dari tahun 1913-1939 M. Pengganti beliau adalah Pangeran Ratu Sukma Alamsyah yang dibantu Mangkubumi Pangeran Adipati Mangku, beliau memerintah dari tahun 1939-1948. Pada masa pemerintahan beliau dilakukan perluasan wilayah kesultanan sebagai berikut :
a.       Di Kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka dikenallah tempat itu dengan sebutan Sungai Bulin.
b.      Di Kampung Raja, membuka lokasi baru untuk tempat pemukiman penduduk Kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan / ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un atau disebut juga Kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan  Baru.
c.       Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jawa, sekarang menjadi kelurahan Sidorejo. (Bappeda : 2004 : 18 )
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Kebudayaan
Di dalam bidang kebudayaan sejak Kesultanan Kotawaringin beribukota di Kotawaringin Lama hingga dipindahkan ke Pangkalan Bun para sultam-sultan yang memerintah membangunkan istana-istana dan bangunan yang indah seperti istana Alnursari, mesjid Jami Kotawaringin dan Istana Kuning atau Keraton Lawang Agung Bukit Indra Kencana yang bersifat terbuka yang mempunyai pengaruh luars eperti di Jawa yang memiliki arkitektur gabungan antara pengaruh jawa, banjar, melayu dan dayak.

Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda terdapat hiburan seperti Kelompok Musik Raja dan Pernaman Abdul Mulik Sejenis Komedi Saudi Arabia. Dalam hasil wawancara penulis dengan Pangeran Muasdjidinsyah tanggal 1 Desember 2007 dapat diketahui bahwa sejak dahulu apabila ada peringatan hari-hari besar islam selalu diadakan pasar malam di Lapangan Tugu, pada saat pasar malam tersebutlah ditampilkan pertunjukan-pertunjukan kesenian khas daerah baik yang asli dari Kotawaringin maupun dari luar daerah seperti :Jepen, Tirik, Mamanda, Ludruk, Ketoprak, Ronggeng dan lain sebagainya. Mengenai orang-orang Tionghoa, pihak kesultanan sengaja mengelompokkan mereka menjadi sebuah  komuniti cina di seberang sungai Arut dan mereka tetap diberi kebebasan untuk mengembangkan budayanya sendiri.
Pada masa Pendudukan Jepun  kesenian daerah mulai di gali kembali. Untuk itu mereka mendirikan Keimin Bunka Syidosyo (Badan Pusat Kebudayaan) yang bertugas menggalakkan hidupnya kesenian rakyat. Hal ini didukung oleh pihak kesultanan dan para keturunan sultan sendiri sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok kesenian yang baru. Misalnya saja, dalam waktu singkat bermunculan kelompok-kelompok sandiwara untuk mementaskan sandiwara di desa-desa sekelilingnya. Dari segi lain dapat diambil kesimpulan bahwa niat Pemerintah Pendudukan Jepun menumbuhkan kembali kesenian tradisional adalah untuk menghibur tentara Jepun agar dapat mengubati kerinduan kepada keluarga mereka di negaranya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Ekonomi
Pada masa Pangeran Ratu Bengawan (1727-1761 M ) Kesultanan kotawaringin mengalami masa keemasan, pada masa ini hasil pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di eksport keluar daerah. Perdagangan hasil bumi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran antarabangsa. Kerana kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antara suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin.
Kerajaan Kotawaringin yang di bangun di awal abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman di sepanjang sungai di daerah Kotawaringin Barat. Permukiman yang ada dipacu oleh domain ekonomi bukan oleh domain politik yang membentuk kota-kota agrasi seperti di Jawa. Permukiman ini menggunakan sungai sebagai alat transfortasi dan elemen primer kota sehingga Pangkalan Bun sebagai ibukota Kesultanan Kotawaringin berkembang menjadi kota perdagangan yang menggunakan sungai sebagai peranan utama.
Pada waktu sultan ke 13 bertahta sekitar tahun 1930-an, hubungan antar awilayah di muara sungai atau tepi pantai ke daerah pedalaman sudah dapat di tempuh dalam waktu lebih singkat. Ini kerana adanya kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang diperbolehkan oleh pihak kesultanan untuk mengangkut barang dagangan dan penumpang.
Pada masa Pendudukan Jepun di bina perusahaan yang melibatkan kerabat istana seperti : pembinaan kapal di Sukamara dan kailang pengolahan kulit bakau di Kumai. Pembangunan bangunan-bangunan untuk kepentingan Jepun juga dilakukan, serta pembukaan kembali Lapangan Terbang yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan pendidikan terutama untuk kerabat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan, Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta  yayasan Dayak Evangelis kerana sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar wnag sekolah saja.
Ketika Jepun masuk, mereka membina sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah pendudukan Jepun mengambil alih semua sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepun. Pelajaran bahasa Jepun dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut Taiso. (Bappeda : 2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara Jepun yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepun juga semakin luas seperti tari-tarian ala Jepun dan sekolah-sekolah Rakyat juga diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada hari-hari besar bangsa Jepun (Bappeda : 2005 : 38).
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sesudah Tahun 1950-1960

 Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang   Pemerintahan
Setelah daerah Swapraja Kotawaringin rasmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950, daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Dengan berakhirnya kekuasan kesultanan, maka para bangsawan dan keturunan sultan tidak lagi memiliki jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Hanya beberapa keturunan Sultan dan bangsawaan yang sebelumnya sudah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, tetap bekerja sebagai pegawai seperti gusti Hamidan, Gusti Majdhan, Gusti M. Taib dan lain-lain. Para bangsawan lainnya seperti Pangeran Aria Ningrat yang dulunya bekerja sebagai ketua daerah kembali ke masyarakat. 
pada masa perubahan kekuasaan tersebut perekrutan pegawai negeri saat itu banyak yang diambil dari para bangsawan dan keturunan sultan. Contohnya adalah Pangeran Perdana yang merupakan anak sultan diangkat langsung menjadi pegawai negeri, dan ketika itu majoriti penduduk berdarah raja yang kebanyakan dari kaum bangsawan, dan keturunanya bekerja sebagai pegawai di pemerintahan.
Daerah Swapraja Kotawaringin sebagai bahagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka pada waktu itu terpilih : M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi, Ahmad Said dari BPRI, Dahlan Abas dari partai Masyumi, M. Sahloel dari PNI, Gusti M. Sanusi dari PNI, Djainuri dari SKI, I. Ismail dari Parkindo. (Lontaan dan Sanusi: 1976 : 91) Dalam susunan wakil rakyat yang terpilih tersebut terlihat hanya Gusti M. Sanusi yang merupakan kerabat kesultanan yang terpilih dalam DPRDS.
Namun ketika Swapraja Kotawaringin menjadi Kabupaten sendiri yang disahkan dengan undang-undang No : 27 tahun 1959 tentang pembahagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dapat terlihat banyak diantara kerabat sultan yang menduduki jabatan sebagai anggota DPRDGR, seperti : P. Arianingrat, Gst. Abdul Gani, Gst. Kiting, Gst. Hermansyah, Mas Karim DW, dan H. A. MAS Alipandi. Masuknya beberapa nama ini dalam DPRDGR menandakan mereka juga mulai  berkecimpung didalam bidang politik.

KERAJAAN PAGATAN(1761-1912)

SEJARAH KERAJAAN PAGATAN






Sejarah kerajaan

Pertengahan abad 18 Pagatan masih merupakan hutan belantara, setelah kedatangan orang-orang Bugis Wajo membuka pemukiman di kawasan hutan rotan belantara, kemudian menjadikan Pagatan sebagai sebuah kerajaan yang bakal lahir dan berkembangnnya peradaban bugis Pagatan di Banua orang Banjar. Dalam sejarah Pagatan tercatat sebagai salah satu kerajaan kecil yang berdaulat pada kerajaan Banjar dan sebagai pusat utama perjuangan mempertahankan Kemerdekaan RI.serta memiliki kedudukan yang strategik dalam jalur pelayaran. Jadi tidak menghairankan kalau kolonial Belanda dan pendudukan Jepun  ingin mengusai Pagatan dulu dikenali sebagai Ibukota Kalimantan Tenggara.

Orang Bugis Wajo yang telah berjasa membangunkan Pagatan, telah mengembangkan peradaban serta mengabdikan seluruh jiwa raganya membangunkan daerah ini sehingga dengan bangga mereka disebut sebagai orang Bugis Pagatan. Sebab sejak direstui penguasa Kerajaan Banjar untuk  membuka kampung dan bermukim, sejak itu pula Bugis Pagatan merasa sebagai sebagai orang Banua, sehingga peradaban yang telah dibangun dan dikembangkan oleh pemerintah Kalimantan Selatan ditetapkan sebagai salah satu sektor pelancongan budaya  didaerah ini dengan dijadikannya Pagatan sebagai kota pelanconagn budaya.

 BUGIS PAGATAN

Bugis Pagatan adalah salah satu suku bangsa yang ada di Kalimantan Selatan yang sejak pertengahan abad 18 telah bermukim serta mengembangkan peradaban dan persekutuan di Pagatan (Kalimantan Selatan) yang terletak bahagian Tenggara kepulauan Kalimantan. Suku Bugis yang pertama kali membangunkan Pagatan kemudian mengembangkan peradapan dan persekutuannya dulunya berasal dari Wajo (Sulawesi Selatan), Matulada (1985) menjelaskan suku bangsa Bugis dan Makasar sejak dulu terkenal sebagai salah satu bangsa yang suka mengembara mengharungi samudera sehinga dikenal sebagai pelaut terhebat dan ulung. Dengan perahu layar   mereka dapat mengharungi samudera Nusantara, ke Barat sampai ke Madagaskar, ke Timur sampai  ke Irian dan Australia. Oleh kerana itulah dihampir pantai dan pelabuhan laut dikepulauan Nusantara terdapat perkampungan Bugis. Mereka pada umumnya menetap dan menjadi penduduk daerah itu sambil mengembangkan adat istiadat persekutuan mereka. Terdapat sekarang ini suku Bugis Pagatan di Kalimantan Selatan, suku Bugis Johor di Malaysia, suku Bugis Pasir dan Kutai di Kalimantan Timur, dan lain sebagainya.

Lebih lanjut Matulada (1985) menjelaskan disamping menjadi pelaut dan nelayan suku Bugis juga terkenal dalm bidang pertanian (Tani) dan Perkebunan (Dare) semenjak dahulu. Tanah-tanah persawahan yang subur yang dikenal sebagai lombong pada di Sulawesi Selatan adalah terdapat dinegeri-negeri Bugis itu. Seperti Sidenreng, Penrang, dan Wajo. Bahkan orang Bugis Wajo orang wajo juga terkenal sebagai pedagang yang ulung, sampai pada zaman sekarang orang di Sulawesi percaya bahawa pedagang-pedang Bugis yang banyak berhasil dalam perniagaannya, nescaya mempunyai titisan darah Bugis Wajo.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas tersebut tiga orang Bangsawan Bugis dari Wajo dan pengikutnya melakukan pelayaran dari Selat Makasar menuju kepulauan Kalimantan. Tiga orang saudagara yang masing masing membawa perahu layar beserta rombongannya adalah. Pua Janggo, La Pagala, dan Puanna Dekke sesampainya di Kalimantan Pua Janggo dan La Pagala masing-masing hampir mendekati kawasan di Tanggarong dan Pasir, sementara Puanna Dekke terus melakukan pelayaran menelusuri selat Pulau Laut menuju Laut Jawa. Akan tetapi sebelum keluar Laut Jawa Perahu Puanna Dekke dihadang badai yang dahsyat, sehingga ia berlindung di Muara Sungai Kukusan (Muara Pagatan). Badai yang dahsyat belum juga reda Puanne Dekke akhirnya membatalkan niat menuju laut jawa, kemudian malah tertarik untuk menyelusuri perairan sungai Kukusan.

Selama dalam pelayaran menyelusuri sungai Kukusan dia tidak melihat orang melakukan aktiviti di tepian sungai atau melihat perkampungan pada hal waktu pelayaran sudah cukup lama. Tiba pada suatu tempat dia melihat sekelompok orang di tepian sungai sedang mengambil rotan, kemudian dia menghampiri dan bertanya tempat apa nama daerah ini, orang tadi menjawab wilayah ini hutan rotan biasa kami ditempat ini melakukan pekerjaan pemagatan artinya mengambil dan mengumpulkan rotan.

Puanna Dekke tertarik atas tempat pemagatan tersebut dan berniat akan membangun perkampungan diwilayah ini. Tempat pemagatan walaupun hanya ditumbuhi hutan belantara bukan berarti tidak bertuan, akhirnya Puanna Dekke berusaha mencari tahu bahwa wilayah yang diinginkan tersebut ternyata masuk dalam kekuasaan Raja Banjar. Dalam catatan lontara Kapitan Latone (ditulis, 21 Agustus 1868) Setelah Punna Dekke( J.C. Nagtegaal menyebutnya Poewono Deka, 12 : 1939) Daerah yang menarik hatinya itu dibuka itu adalah termasuk wilayah kerajaan Banjar, maka dia pergi menemui sultan Banjarmasin.

Sebagai seorang pemimpin Matoa Dagang ( Zainal Abidin, 57 : 1983) tidak sulit buat Punna Dekke berlayar hingga  ke Bandarmasih. Kemudian Puanna Dekke meghadap Panembahan Batu untuk mengutarakan keinginannya. Panembahan Batu kemudian memberikan restu dan izin utuk membangunkan pemukiman sebagaimana yang dimaksudkan. (Lontara Latone) tertulis bahwa pada saat mohon izin kepada panembahan, ditegaskan kepada Puanna Dekke untuk kesanggupnya menanamkan pelabur an sendiri untuk biaya pembangunan pemukiman baru di atas kawasan hutan belantara tersebut, kemudian Puanna Dekke juga dapat menjamin keamanan perairan di Muara Pagatan yang selama ini sering digunakan para lanun laut untuk merompak di Selat Pulaut. Apabila kedua hal tersebut dapat dipatuhi syaratnya maka daerah yang diinginkankan diperkenankan   sebagai perkampungan warga orang Bugis yang dikemudian hari dapat dijaga dan diwariskan kepada anak cucu Puanna Dekke.

Kehormatan yang diberikan Panembahan ini yang kemudian menjadi semangat bagi membagunkan pemukiman baru, sampai akhirnya menjadi sebuah Kampung oleh Puanna Dekke member inama Kampoung Pegatan ( asal kata dari tempat pemagatan). Kampoeng Pagatan dalam tatanan Puanna Dekke berkembangan sebagai salah satu Bandar yang strategik yang diapit oleh Laut Jawa dan di Belah oleh Sungai Kukusan (Sekarang Sungai Kusan), sehingga cepat mengalami kemajuan sebagai salah satu bandar yang penting di wilayah Kerajaan Banjar.

Kemudian Puanna Dekke mengundang saudaranya Pua Janggo dan La Pagala untuk membicarakan pemimpin mengatur pemerintahan internal di kampoeng Pagatan. Dalam perundingan tiga bersaudara ini akhirnya menyiapkan Hasan Panggawa sebagai calon raja Pagatan, Hasan Panggewa sendiri ketika itu masih berumur muda termasuk keturunan salah seorang raja Kampiri di Wajo.

 KERAJAAN PAGATAN TAHUN 1761- 1912 M.

Nagtegaal (1983) menjelaskan bahwa pertengahan abad ke 18 datanglah pedagang Bugis dari Wajo (Sulawesi Selatan) bernama Poewono Deka, dan atas izin Sultan Banjarmasin kemudian mendirikan kerajaan Pagatan. J.C. Noorlander (190: 1983) menjelaskan dari gelar-gelar yang digunakan raja-raja Banjar ternyata yang bergelar Penambahan Batu (Sultan Banjarmasin) adalah Nata Alam atau Panembahan Kaharuddin Halilullah yang memerintah tahun 1761-1801. Maka berdasarkan data tersebutlah dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kerajaan Pagatan didirikan setelah tahun 1761.

Dengan terjalin hubungan baik Puanna Dekke dengan Panembahan Batu, dimana kepercayaan yang telah diberikan Panembahan kepada Puanna Dekke selalu ia jaga dengan baik, sehingga dalam mengatur Kerajaan Pagatan secara politiknya masuk dalam kedaulatan Kerajaan Banjar. Oleh kerana itu kedudukan Kerajaan Pagatan hanya memiliki hak autonomi pengaturan pemerintahan dalaman, sebagaimana juga kerajaan-kerajaan kecil ketika itu yang tetap berada di bawah kedaulatan kerajaan yang lebih besar. Sebagai mana juga Kerajaan Banjar merupakan kerajaan besar yang ada di Nusantara pada saat itu berfungsi sebagai pelindung terhadap Kerajaan Pagatan.

Kerajaan Pagatan yang muncul pada pada pertengahan abad ke 18. yang diperkirakan berlangsung dari tahun 1861 sampai dengan 1912. Selama satu setengah abad terbagi 4 empat priode sistem pemerintahan, iaitu :

1. Priode ke I Pra Kerajaan di Pimpin Puanna Dekke- sebagai pendiri kerajaan Pagatan, dengan mengerahkan seluruh daya upaya beserta pengikutnya mmbuka hutan belantara, kemudian jadilah pemukiman baru yang kemudian diberi nama Kampoeng Pegatang, selanjutnya Puanna Dekke mempersiapkan cucunya untuk jadi Pemimpin kerajaan Pagatan. Sementara Puanna Dekke yang dikenali pendiri Kerajaan Pagatan tidak mahu menjadi Raja.

2. Priode ke II Puanna Dekke Mengistiharkan kerajaan Pagatan,- dengan menobatkan cucunya bernama La Panggewa sebagai raja pertama di Kerajaan Pagatan.diperkirakan berlangsung dari tahun 1761-1861.

3. Priode ke II Kerajaan Pagatan mengalami perluasan wilayah kekuasaan dengan bergabung kerajaan Kusan,- sehingga menjadi Kerajaan Pagatan- Kusan. Berlangsung dari tahun 1861 – 1908.

4. Priode ke IV. Kerajaan Pagatan Kusan pada tahun 1908-1912 M telah mengalami perubahan pemerintahaan- kalau sebelumnya beerdaulat terhadap kerajaan Banjar, maka sejak tanggal, 1 Julai 1908 diserahkan kepada pemerintahan Hinda Belanda.

Andi Syaiful (1993) berpendapat bahwa kerajaan Pagatan diperkirakan berlangsung dari tahun 1761- 1912. dan Raja Pagatan yang pertama adalah bernama Hasan Pangewa/La Panggewa Kapitan Laut Pulo (Nategaal, 12-14) menjelaskan beberapa orang raja telah memerintahan Pagatan. Setelah pemerintahan Hasan Pangewa.


. RAJA PAGATAN DAN KUSAN

1. Hasan Penggewa Raja Pagatan I (1761-1838)

Hasan Pengewa/ La Penggewa adalah Raja Pagatan yang pertama beliau cucu dari Punna Dekke pendiri Kerajaan Pagata. La Panggewa masih keturunan dari Raja Kampiri (Wajo), sejak kecil dibawa bersama Puanne Dekke dari kampiri ke Pagatan, bahkan konon di Pagatanlah La Panggewa di khatankan kemudian dinobatkan menjadi Raja Pagatan yang pertama. Mengingatkan umurnya masih belia maka untuk mengaturkan pemerintahan untuk sementara dipercayakan kepada pamannya Raja Bolo, sambil mendidik dan membimbing La Pangewa supaya boleh menjadi pemimpin dan mengatur pemerintahan setelah dewasa, atas gembelengan Puanna Dekke dan Raja Bolo La Pengewa menjadi seorang perkasa,

Pada suatu peristiwa La Penggewa diutus oleh Raja Bolo untuk menghadap Raja Banjar dalam rangka menyampaikan bahwa selama ini dialur muara sungai Barito para perahu layar saudagar mengalami kesulitan untuk masuk berlayar ke Banjarmasin kerana sering digangu oleh para lanun laut yang mengacaukan muara sungai tersebut. Kemudian oleh Panambahan menyambut baik kedatangan La Panggewa Cucu Puanna Dekke, serta diberikanlah kepercayaan La Panggewa memimpin askar untuk mengusir para lanun laut di Muara Sungai Barito tersebut, atas kehormatan yang dipercayakan Panembahan tidak disia-siakan La Penggewa dan berhasil mengusir perompak tersebut dan lari berpindah ke Biajao. Atas keberhasilan La penggewa inilah kemudian Panembahan menganugerahkan gelar kehormatan kepada La Penggewa sebagai Kapitan Laut Pulo. Atas kesetiaan Puanne Dekke mengutus cucunya oleh Penambahan mengegaskan kembali kepada Kapitan Laut Pulo bahwa  Pagatan yang telah dibangunkan Puanne Dekke diserahkan secara sah untuk dikuasai dan dikemudian hari dipersilahkan untuk diwariskan kepada keturunan Puanna Dekke. Sekembalinya dari kerajaan Banjar La Penggwa oleh Puanna Dekke dan Raja Bolo menyerahkan segala hak La Penggewa untuk memimpin dan mengatur pemerintahan kerajaan Pagatan tahun 1800, kemudian La Penggewa Kapitan Laut Pulo magkat tahun 1838 digantikan oleh putranya bernama Abdul Rahim.

2. Arung Pallewange Raja Pagatan II ( Tahun 1838 – 1855)

Abdul Rahim bin Hasan Pengewa dinobatkan menjadi raja Pagatan II pada tanggal 19 Julai 1838 kemudian bergelar Arung Pallewange, selama 26 tahun berkuasa kemudian wafat pada tanggal, 28 April 1855. selanjutnya digantikan oleh putranya Abdul Karim. Dalam catatan sejarah, bahwa keturunan Abdul Rahim ini kemudian yang banyak memimpin kerajaan Pagatan,

3. Arung La Mattunru Raja Pagatan III (Tahun 1855-1871)

Abdul Karim Bin Abdul Rahim dinobatkan menjadi raja Pagatan III tahun 1855 dan bergelar Arung La Mattunru, pada masa pemerintahannya terjadi perluasan wilayah kerajaan Pagatan dengan bergabung kerajaan Kusan tahun 1861, sehingga menjadi kerajaan Pagatan – Kusan. Kemudian Arung La Mattunru wafat tahun 1871 digantikan oleh putranya Abdul Djabbar.

4. Arung La Makkaraw Raja Pagatan IV (Tahun 1871-1875)

Abdul Djabbar Bin Abdul Karim dinobatkan jadi raja Pagatan tahun 1871 dan bergelar Arung La Makkaraw tidak lama berkuasa kemudian wafat tahun 1875, karena Arung La Makkaraw tidak mempunyai keturunan maka digantikan oleh Daeng Mankkaw putri dari Arung Pallewange.

5. Ratu Daeng Mankkaw Raja Pagatan V (Tahun 1875-1883)

Daeng Mankkaw Binti Abdul Rahim adalah raja Pagatan V yang dinobatkan menjadi raja tahun 1875 kemudian bergelar Ratu Daeng Mankkaw. Pada masa pemerintahan Ratu daeng Mankkaw didampingi oleh suaminya Pengeran Muda Aribillah. salah seorang raja Kerajaan Tanah Bumbu sebuah kerajaan kecil yang berada disebelah Utara Kerajaan Pagatan. Pengeran Muda Aribillah merupakan cucu dari Sultan Banjar Tamjidillah I yang telah mengadakan ikatan perkawinan dengan Ratu Daeng Makkao dari ikatan perkawinan inilah kemudian lahir Andi Tangkung dan Andi Sallo (Abdul Rahim).

Ratu Daeng Mankkaw wafat tahun 1883. Sementara anaknya bernama Abdul Rahim belum dewasa maka untuk pemerintahan kerajaan Pagatan dipercayakan kepada Kolonial Belanda, sementara pemangku kerajaan dipercayakan kepada kakaknya Andi Tangkung

6. Andi Tangkung Raja Pagatan VI ( Tahun 1883-1893)

Andi Tangkung memangku jabatan kerajaan Pagatan bergelar Petta Ratu yang berlansung sejak tahun 1883 dan berahir tahun 1893. Kemudian digantikan oleh Abdul Rahim

7. Arung Abdul Rahim Raja Pagatan VII (Tahun 1893-1908)

Andi Sallo bergelar Arung Abdul Rahim naik tahta tahun 1893 dan berahir pada tanggal, 16 Julai 1908. Pada masa akhir kekuasaan Arung Abdul Rahim telah terjadi kemelut dalaman kerajaan Pagatan Kusan. Peristiwa tersebut berawal perseteruan antara dua saudara antara Andi Sallo dan Andi Tangkung. Andi Tangkung mempersiapkan putranya bernama Andi Iwang sebagai penganti Arung Abdul Rahim pemangku kerajaan Pagatan Kusan, sementara juga Andi Sallo juga mempersiapkan putranya bernama Andi Kacong untuk mengantikan dirinya sebagai pemangku kerajaan Pagatan Kusan. konflik perebutan tahkta yang berterusan akhirnya setahun sebelum wafatnya Arung Abdul Rahim, yakni pada tanggal, 20 April 1907. Arung Abdul Rahim mengeluarkan suatu pernyataan bahwa kerajaan Pagatan dan Kusan diserahkan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Maka setelah empat tahun (1908-1912) pelaksanaan pemerintahan kerajaan Pagatan dan Kusan di bawah suatu wilayah (zelfbestuusraad), terjadi pada tanggal, 1 Julai 1912 kerajaan Pagatan dan Kusan dihapuskan dalam pemerintahan langsung Hindia Belanda (Nategaal: 1983).

KERAJAAN PULAU LAUT(1850-1903)



Kerajaan Pulau Laut
Kerajaan Pulau Laut adalah suatu wilayah pemerintahan swapraja yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda.
Wilayah tersebut disebut kerajaan Pulau Laut yang didirikan Pangeran Jaya Sumitra (Raja Kusan IV), yang memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah ini. Wilayah kerajaan ini terdiri atas Pulau Laut dan Pulau Sebuku di lepas pantai bagian tenggara pulau Kalimantan (sekarang Kabupaten Kota Baru).
Sebelumnya pusat kerajaan ini berada di daerah aliran sungai Kusan di Tanah Bumbu, di tenggara Kalimantan Selatan yang disebut Kerajaan Kusan, setelah dipindah ke pulau Laut, rajanya bergelar Raja Pulau Laut I. Raja-raja Kusan dan raja-raja Pulau Laut merupakan trah Sultan Sulaiman dari Banjar. Raja-raja di daerah ini bergelar Pangeran atau Ratu (untuk wanita), karena daerah ini sebenarnya merupakan cabang dari Kesultanan Banjar. Anak-anak raja Pulau Laut disebut Gusti (laki-laki) dan Putri (wanita).
Wilayah kerajaan ini dahulu merupakan sebagian dari Kesultanan Banjar. Menurut Kontrak Perjanjian tahun 1797, Laut Pulo (Pulau Laut) kembali diserahkan kepada Kesultanan Banjar (baca : Sultan Tahmidullah II), karena dalam perjanjian sebelumnya pernah diserahkan kepada VOC (untuk memungut komoditas sarang burung).

 Raja Kusan

  1. Raja Pulau Laut I : Pangeran Jaya Sumitra bin Pangeran Muhammad Nafis dari Kerajaan Kusan (1850-1861)
  2. Raja Pulau Laut II : Pangeran Abdul Kadir bin Pg. Muhammad Nafis. Ia memerintah mulai 1 Januari 1861 sampai 1873. Pada tahun 1849 ia menikahi Aji Tukul/Ratu Intan II/Ratu Agung[3][4]
  3. Raja Pulau Laut III : Pangeran Berangta Kasuma bin Pg Abdul Kadir (1873-1881)
  4. Raja Pulau Laut IV : Pangeran Amir Husin Kasuma bin Pg. Berangta Kasuma(1881-1900)
  5. Penjabat Raja Pulau Laut : Pangeran Abdurrahman Kasuma bin Berangta Kasuma (10 Januari 1900 - 7 Januari 1903)
  6. Penjabat Sementara Raja Pulau Laut : Pangeran M. Aminullah Kasuma bin Pg. Amir Husin Kasuma ( 7 Januari 1903 - 3 April 1903), Kerajaan Pulau Laut dihapus, dimasukan langsung ke dalam Pemerintahan Hindia Belanda. [5]

 Pangeran Jaya Sumitra

Pangeran Jaya Sumitra putera dari pangeran M. Nafis dan ia menjadi Raja Kusan IV tahun 1840-1850, kemudian ia pindah ke Kampung Malino dan menjadi Raja Pulau Laut I pada tahun 1850-1861.
LAST RAJA OF PULAU LAUT WAS ALLOWED TO RULE ON UNTIL 1-1-1905.MAYBE LATER AS REGENT? DP TICK SECR. PUSAT DOKUMENTASI KERAJAAN2 DI INDONESIA "PUSAKA" PUSAKA.TICK@KPNMAIL.NL FACEBOOK: DONALD TICK

 Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe

Pulau Laut dan dependensinya merupakan salah satu daerah landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.

 Pranala luar

KERAJAAN SIMPANG MATAN(1762-1959-KINI)



Kerajaan Simpang dinamakan demikian karena letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu cabang di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jadi nama SIMPANG itu karena letaknya dipersimpangan dua sungai. Kerajaan Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan, hanya setengah hari perjalanan mudik dari Simpang sampailah ke Matan.
Karena hubungan emosional dan kedekatannya dengan Matan, maka Kerajaan Simpang mencantumkan nama Matan sehingga dikenal dengan Kerajaan Simpang Matan.
Kerajaan Simpang merupakan salah satu kerajaan yang terkenal di Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam Negara Kertagama, Mpu Prapanca menyebut pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk dalam Daerah III : … Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas … Kadang mwang i Landak Lenri Samedang (Simpang) … ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri. (Anshar Rahman:Tanjungpura Berjuang, 1970)
Kerajaan di Kalimantan Barat yang termasuk dalam wilayah Majapahit adalah Tanjungnegara (Tanjungpura, Kapuhas, Kandawangan, Landak, Simpang, Melano).

Raja-Raja Simpang Matan:
a). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814
Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.
Raja pertama Kerajaan Simpang Matan ini mempunyai empat orang anak, yaitu:
1. Gusti Mahmud, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat.
2. Gusti Asfar,  bergelar  Pangeran  Adipati.  Dia kawin  di Landak,  melahirkan Gusti Arif yang menurunkan
    keturunan Raja Landak.  Kemudian  dia  kawin  lagi di  Tayan melahirkan  Gusti  Hasan yang menurunkan
    keturunan Raja Tayan.
3. Gusti Jamiril, dan
4. Utin Upih.
Pada masa pemerintahannya, Belanda sudah mulai masuk. Ajidan (William Adrian Palm?) wakil Belanda (VOC) di Betawi datang ke Pontianak hendak meminjam tanah untuk mendirikan kantor dagangnya. Melalui Syarif Abdurahman mengirim surat kepada Sultan Simpang-Matan memberitahukan maksud tersebut. Dalam balasan suratnya Sultan Muhammad Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m2 dengan sewa per bulannya sebesar ƒ250 (uang waktu itu), dan apabila Ajidan (Adrian) pulang ke Belanda, maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan Simpang. Kemudian Ajidan (Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang VOC didirikan di Pontianak. Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman Alqadrie mendirikan pemukiman di Pontianak setelah mendapat restu dari Sultan Jamaluddin, dan tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan Kerajaan Pontianak. Ajidan (Adrian) digantikan oleh Residen Suhar (Walter Markus Stuart). Melalui Residen Suhar (Stuart), Belanda menawarkan persahabatan dengan Sultan Simpang. Dia menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin menyampaikan perintah dari Raja Belanda dan Gubernur Jenderal VOC di Betawi (Renier de Klerk) : Kata Rasiden Suhar kepada Sultan “Raja, adapun saya datang ini menghadap Raja, membawa perintah dari Raja saya yaitu Raja Belanda serta Jenderal VOC di Betawi hendak bersahabat kepada Raja disini” Maka dijawab Sultan “boleh bangsa engkau bersahabat dengan aku tetapi jika dapat bangsa engkau orang Belanda memaklumkan musuh dilaut itu” Bertanya Residen Suhar “musuh apa Raja, dilaut itu? ’Di jawab Sultan ‘Adapun musuh dilaut itu bangsa Lanun, bangsa bajak namanya. Jika engkau bangsa Belanda dapat memaklumkan, menangkapnya, mengamankan perairan pesisir pantai Simpang dan selat Karimata dari gangguan Lanun, bajak laut itu.
Salah satu sebab mengapa Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat pemerintahannya dari Sukadana ke Matan adalah serangan dan gangguan lanun, bahkan ketika pindah ke Matan pun Lanun pernah menyerang sampai masuk jauh ke sungai Melano, namun mereka terkecoh oleh Bukit Penggalang yang nampak melintang ditengah sungai, dikiranya sungai itu tidak ada hulunya (sungai buntu) akhirnya karena mengira terjebak dan takut diserang balik mereka tergesa-gesa mundur dengan membuang muatan peluru dan senjatanya ke sebuah lubuk di sungai Simpang, lubuk itu dinamai “lubuk senjata”
Kemudian setelah Residen Suhar pulang melaporkan hasil pertemuannya dengan Sultan Simpang kepada Jenderal di Betawi, dia datang kembali membawa perintah lagi dari Raja Belanda dan Jenderal di Betawi menawarkan jasanya untuk menolong Sultan Simpang dalam menjalankan pemerintahan, karena terlalu luasnya wilayah kerajaan, sehingga dengan bantuan itu Sultan tinggal menerima keputusan saja. Tawaran itu diterima Sultan dengan ketentuan harus menurut pemerintah Sultan dan tidak boleh berkuasa sendiri. Begitulah perjanjian dahulu dengan Sultan Muhammad Jamaluddin tidak ada Belanda berkuasa di Simpang ini karena bedil peluru dan meriamnya tetapi dengan segala tipu muslihatnya.
Percaya dengan janji dan persahabatan, maka Sultan mengirim sepucuk surat kepada Raja Belanda dan mengirimkan “Intan Sejima” yang diserahkan kepada Residen Suhar. Jenderal di Betawipun pergi ke negeri Belanda membawa surat serta Intan Sejima itu kepada Raja Belanda Willem. Setelah tiga bulan kemudian Residen Suhar membawa balasannya berupa uang harga Intan itu dan diserahkan kepada Sultan.
Pada zaman Sultan Muhammad Jamaluddin Belanda belum menguasai Kerajaan Simpang baru dalam batas perjanjian-perjanjin saja.

b). Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suriyaningrat) 1814 – 1829
Gusti Mahmud adalah Raja pertama yang menggunakan gelar Panembahan karena gelar Sultan tidak diperbolehkan oleh Belanda untuk dipakai lagi “… te benoemen inlandschen vosrt, onder den title van panembahan….” (J.P.J.Barth 1879:17).
Di awal pemerintahan Gusti Mahmud, Belanda belum menguasai sepenuhnya kerajaan Simpang, masih terbatas dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian di masa Sultan Muhammad Jamaluddin: berupa perjanjian persahabatan, pengamanan perairan pesisir pantai dan Selat Karimata, serta bantuan dalam pengelolaan pemerintahan.
Pada zaman Pangeran Anom Suryaningrat ini telah terjadi perjanjian antara Kerajaan Simpang dan Kerajaan Matan (Kayong?) dengan Belanda oleh Komissaris Tobias yang ditandatangani tanggal 14 Juni 1823 di Simpang. Diperbaharui lagi tahun 1837 dan 1845.
Bermula penguasaan Kerajaan Simpang ini oleh Belanda, ditandai dengan penggantian residen dari Residen Suhar digantikan oleh Residen Litter. Dia menghadap Gusti Mahmud diperintahkan Jenderal di Betawi untuk meminta tanah di Sukadana dan Karimata. Berkata Gusti Mahmud bahwa tanah di Sukadana dan Karimata tidak boleh diminta, jika dipinjam boleh selama 4 turunan dan dibayar kerugiannya (sewanya) setahun ƒ4500 Setelah mendapat pinjaman Belanda berjanji di Sukadana dan Karimata itu hanya untuk mendirikan kantor (loji) sebagai pusat pengendalian pemberantasan lanun/bajak laut, namun ternyata yang dibangunnya tangsi-tangsi dan penjara untuk menempatkan serdadunya yang bertujuan sebagai basis untuk menguasai dan pengendalian daerah jajahannya. Dari tangsi inilah Belanda memerangi perlawanan rakyat Kerajaan Simpang dalam perang Belangkait dan perang Tumbang Titi dihulu Ketapang. Setelah mendapat pinjaman tanah Sukadana dan Karimata, Belanda mengganding Raja Akil dari Siak (Riau) yang juga sering disebut sebagai mayor Akil. Iapun diangkat sebagai Raja Sukadana. Nama Sukadana diganti dengan Niew Brussel (lidah Melayu menyebutnya Beresol). Setelah Raja Akil diangkat menjadi Sultan dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah tahun 1828, hanya Sukadana sajalah yang boleh menggunakan gelar Sultan dan yang lainnya bergelar Panembahan (J. P. J. Barth, 1879:17).
Karena Raja Akil tidak disenangi dan disetujui oleh rakyat, maka timbullah perselisihan dengan Residen Belanda, maka setelah meninggal tahun 1849, jabatan Sultan dihapuskan dan penggantinya hanya bergelar Panembahan. (Ansar Rachman, Bab V:8)
Raja-raja Sukadana selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Tengku Besar Anom (1849-1878)
2. Panembhan Tengku Putra (1878-1910)
3. Panembahan Tengku Andut (1910-1939)
4..Panembahan Tengku Abdul Hamid (1939-1940)
5. Panembahan (Dokoh) Muhammad Idris (1940-1943)
6. Panembahan Tengku Muhammad (1943-1946)
7. Panembahan Tengku Adam
Tahun 1959 Kerajaan/Swapraja Sukadana dihapuskan, sementara itu saudara dari Raja Akil diangkat menjadi penguasa di Kepulauan Karimata:
1. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja`far (1833) kawin dengan cucu Batin Galang Setia Raja.
2. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Bujang (1863)
3. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Panglima Abdul Jalil (1866)
Begitulah akhirnya Kerajaan Simpang dikuasai oleh Belanda dan gelar keSultanan dihapuskan dan hanya boleh menggunakan gelar Panembahan, maka Gusti Mahmud Raja Simpang yang pertama memakai gelar Panembahan, dengan gelar Panembahan Anom Suriyaningrat. (Gusti Maerat 1956:64).
Gusti Mahmud mempunyai sembilan orang anak dari beberapa isterinya, yaitu:
- Gusti Muhammad Roem bergelar Pangeran Kesumayuda.
- Gusti Madina bergelar Pangeran Nataningrat
- Gusti Nalar bergelar Pangeran Suria.
- Gusti Kupah bergelar Pangeran Putera.
- Gusti Pandang bergelar Pangeran Perdana Menteri, kawin di Kayong dengan Utin Ayu anak Sultan Anom.
- Gusti Makrifat, Gusti Mengkaning, Gusti Agus tidak berpangkat\ bergelar, Utin Majelis (Gusti Maerat, 1956:64).
Pada akhir pemerintahan Gusti Mahmud Residen Belanda yang bernama Suhar digantikan Residen Litir.

c). Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat) 1829 - 1874
Gusti Muhammad Roem (Pangeran Kesumayuda) setelah naik tahta bergelar Panembahan Anom Kesumaningrat mempunyai anak 39 orang dari beberapa isterinya diantaranya :
- Gusti Panji setelah menjadi raja bergelar Panembahan Suryaningrat.
- Gusti Roem setelah menjadi raja bergelar Panembahan Gusti Roem
- Gusti Rajuna, bergelar Pangeran Mangku.
- Gusti Itam
- Gusti Merkum,
- Gusti Kalayumdan,
- Gusti Mursal

d). Gusti Panji ( Panembahan Suryaningrat ) 1874 - 1919
Diawal pemerintahan Panembahan Suryaningrat agaknya Belanda menaruh perhatian yang besar karena tentunya berdasarkan kepentingannya sehingga perlu mengadakan pendekatan untuk mempererat persahabatan yang nantinya menerapkan perjanjian-perjanjian. Mungkin dalam usaha yang demikianlah sehingga Belanda menganggap perlu menyampaikan berita kematian Willem III kepada Panembahan Suryaningrat dengan Surat Khusus dari Gubernur Jenderal Mr. Cornelis Pijnacker hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891 yang merupakan berita dukacita memberi tahukan bahwa Raja Belanda Willem III telah meninggal pada tanggal 23 Nopember 1890 dalam usia 73 tahun 9 bulan 4 hari.
Surat yang telah dialih aksarakan dari tulisan Arab Melayu ke Latin selengkapnya adalah sebagai berikut :

K A U K U L H A K .
“Bahwa inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat kita yang termaktub didalamnya dengan beberapa tabik dan selamat. Yaitu dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah air Hindia Nederland Mr. Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang bersemayam diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi. Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam kehadapan Paduka Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri Simpang. Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal afiat. Wabadu kemudian daripada itu maka adalah kita mengirimkan warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari negeri Nederland yang menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan Nopember 1890 dengan takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9 bulan 4 hari. Sesudah gering beberapa lama ialah bagi kita dikasihani dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil dan penuh kasih sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.
Bahwa karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua yang bernama Wilhelmina Helena Maria yang sekarang jadi gantinya baginda, bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil baliq maka yang memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm yang ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia. Oleh karena mangkat ….baginda dengan dukacita yang amat sangat besarnya.
Termaktub dinegeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891”.(Ansar Rahman, 2000:285).

Begitulah ikatan persahabatan yang ditunjukkan oleh Belanda.
Gusti Panji mempunyai 21 anak, 13 laki-laki dan 8 orang perempuan diantaranya, yaitu ;
1. Gusti Mansur (berpangkat Pangeran Ratu), mempunyai anak; Gusti Kencana, Gusti Mahmud, Gusti
    Achyar, Utin Mina, Utin Tahara, Utin Karyasin.
2. Gusti Samba (berpangkat Pangeran Kesumayuda), mempunyai anak; Gusti Kintil, Gusti Jamadin, Gusti
    Bandan, Gusti Usman, Utin Ranas, Utin Ubit, Utin Ucil, Utin Perak, dan Utin Ating.
3. Gusti Ismail (berpangkat Pangeran Kesumayadi), mempunyai anak; Gusti Nabat, Gusti Hamzah, Gusti
    Maskat, Utin Serkaya, Utin Bedarih.
4. Gusti Tamjid (berpangkat Pangeran Kesuma Anom), mempunyai anak; Gusti Mahira (Maerat), Utin Sila,
    Utin Sinar Midi, Utin Mahrani, Utin Bugur, Utin Jematin, Utin Mahniaran.
5. Gusti Muhammad Kasim (berpangkat Pangeran Adi), mempunyai anak; Gusti Jelma, Gusti Hidayat, Gusti
    Citil, Gusti Mekah, Gusti Abdulhamid, Gusti Man, Utin Selindit, Utin Ranik, Utin Kuna, Utin Sibar, Utin
    Fatimah, Utin Ayu.
6. Gusti Mahdewa, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Busri, Gusti Lanang, Gusti Baguk, Utin
    Sitimanya, Utin Unung.
7. Gusti Masdar, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Basuni, Gusti Abdulwahab, Gusti Arif, Utin Ayu.
8. Gusti Cerana,
9. Gusti Muskan,
10. Gusti Megat,
11. Gusti Dahlan,
12. Gusti Serban,
13. Gusti Sendang.
Pada masa Panembahan Gusti Panji terjadi Perang Belangkait yang terjadi akibat adanya pertentangan dengan penjajahan Belanda. Bermula dari gagalnya Belanda membujuk Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Korte Verklaring). Kemudian Panembahan ditangkap namun kapal yang penuh dengan tentara itu berjalan miring sebelah, dan akhirnya kapal tersebut mendarat dekat sebatang pohon dungun yang besar. Pohon dungun itu disebut penduduk dengan “Dungun Kapal”.
Karena tidak berhasil membujuk dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri isi Kontrak Pendek itu dengan memaksa rakyat unruk membayar pajak (blasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menentang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepucuk bergelar Hulubalang I yang bernama Abdusamad dan terkenal dengan panggilan “Ki Anjang Samad” dengan semboyannya “Daripada membayar blasting dengan Belanda lebih baik mati”. Panembahan Gusti Panji sendiri turun ke kampung-kampung membakar semangat rakyatnya untuk melawan penjajahan.
Dalam keadaan yang sudah siap perang datanglah sepasukan suku Dayak dari hulu Tumbang Titi utusan dari Uti Usman (pemimpin perang Tumbang Titi di hulu Ketapang). Pasukan itu dipimpin Panglima Ropa dengan panglima-panglima: Ida, Gani, Enteki, Etol, dan Panglima Gecok. Dengan 20 panglima dan banyak prajurit, mereka menyerang Sukadana. Akan tetapi tangsi Sukadana telah kosong, jadi mereka melanjutkan menyerang Loji (Kantor Belanda) di Pulau Datok. Namun disana juga kosong karena Belanda mengosentrasikan pasukannya di Tumbang Titi untuk menghadapi Uti Usman.
Beberapa hari kemudian, datanglah sepasukan Belanda dengan Kapal Bukat yang dipimpin oleh Letnan Obos dan Tuan Sepak. Terjadilah pertempuran berseberangan sungai di Kampung Belangkait. Setelah terbunuhnya Ki Anjang Samad di hari pertama dan Patih Kembereh di hari kedua, dan tertangkapnya lima orang panglima yang kemudian di tawan di Sukadana, akan tetapi panglima lainnya tetap
melanjutkan perang gerilya. Empat dari lima panglima yang dipenjara meninggal di penjara Sukadana tinggal Panglima Enteki setelah beberapa tahun kemudian dibebaskan (Gusti Mulia, 1967:3).
Pada masa Panembahan Gusti Roem di Kerajaan Simpang Teluk Melano, ada yang bergerak melanjutkan perang Belangkait dengan tidak secara fisik berhadapan langsung dengan penjajah Belanda, tetapi dengan cara sosial dan politik seperti yang dilakukan oleh Gusti Hamzah. Gusti Hamzah adalah anak Gusti Ismail, cucu dari Gusti Panji. Ia meneruskan cita-cita perjuangan dengan teman-temannya dari daerah lain yang aktif dalam organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang mendirikan Syarikat Rakyat (1923).
Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jendral D. Fock mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuk Gusti Hamzah yang kemudian dijebloskan ke penjara, dan diasingkan ke Boven Digul. Gusti Hamzah baru dibebaskan 11 tahun kemudian dan dipulangkan pada tahun 1938, dan ditahan di penjara Sukadana (Ansar Rachman:291).

e). Gusti Roem (Panembahan Gusti Roem/Panembahan Anom Kusumangrat ) 1911 – 1942
Gusti Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki dari enam orang istrinya, yaitu: Gusti Umar (Menteri Polisi), Gusti Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani) ketiganya ini menjadi korban fasisme Jepang pada tahun 1943. Anaknya yang lain, yaitu : Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri (Otek) kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana korban fasisme Jepang tahun 1943. Utin Aminah (Are) kawin dengan Tengku Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon), Utin Jamilah (Entol) kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot kawin Raden Saleh, Utin Temah kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme Jepang tahun 1943, dan Utin Ayu. Kawin dengan Daeng Dolek.
Gusti Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan dengan Perang Belangkait yang berakhir pada tahun 1913. Semula Gusti Roem menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang, namun Belanda mengancam akan menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja Tanjungpura, Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan menjadi kekuasaan keturunan Raja Akil. Dengan rasa berat, Gusti Roem menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai Na’im dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang dengan membiarkan Gusti Panji mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di istana Kerajaan Simpang, dan di makamkan di pemakaman Raja-Raja di Simpang.
Kemudian Gusti Roem membangun kedudukan di Telok Melano. Nama Melano sudah terkenal sejak masa Singosari dan Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca. Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum kata “HET NENERLANDSCH INDISCH GOUVERNEMENT AAN DEA PANEMBAHAN VAN SIMPANG”
Dalam usahanya mengikat kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu dipinjamkan kepada Belanda yaitu Sukadana dan Karimata, Panembahan Gusti Roem menggunakan pendekatan Politik Perkawinan. Beliau kawin dengan Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku Sa’diyah dari Karimata keturunan Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja’far.
Kemudian Beliau kawinkan puterinya Utin Baiduri dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan Sukadana yang menjadi korban fasisme Jepang. Dan mengawinkan Utin Aminah dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan sistem perkawinan ini terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan dari wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan Simpang. Beliau meninggal sebagai korban fasisme Jepang pada tahun 1943.

f). Gusti Mesir (Panembahan Gusti Mesir) 1942 – 1944
Gusti Roem mengangkat penggantinya Gusti Mesir dari putra Ratu yang bungsu. Pada masa Panembahan Gusti Mesir keadaan perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan dan kebun, terutama karet. Berakhirnya kemakmuran rakyat Simpang dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat makan ubi, sagu, dan berkain/celana goni dan berbaju kapuak (kulit kayu) ditambah dengan teror yang dilakukan Jepang dan kaki tangannya. Pada peristiwa penangkapan raja-raja tanggal 23 Desember 1943 yang datang diundang Jepang untuk menghadiri suatu pertemuan di Pontianak kesemuanya dibunuh Jepang, kecuali Gusti Mesir yang waktu itu dibebaskan atas bantuan Tuan Siama Kepala Maskapai Durian Sebatang. Ketika memenuhi undangan ke Pontianak itu, Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin iparnya yang selalu diikut sertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama berpergian. Begitu dia dibebaskan dimintanya pula iparnya Mas Raijin agar dibebaskan. Namun sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah dia akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang diantaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin karena kakinya pincang, selamat ia dari samurai Kempetai Jepang.
Setelah beberapa hari dibebaskan, berkumpullah semua penggawa, patih, demong, para kiyai serta kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Uti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan bagaimana menyelamatkan Panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang, ada yang mengusulkan supaya diisukan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas sehingga banyak penduduk menjadi korban. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua alternatif itu dengan halus ditolak Panembahan karena semuanya tidak rasional dan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau menyatakan: “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat”.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak – Kepala Staatwach (mata-mata) Belanda. Maka, datanglah Jepang dari Ketapang dan Sukadana mencarinya dan penduduk diminta membantu penangkapan pelarian tersebut. Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari setelah ditangkapnya staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai yang ternyata bertugas untuk membawa menangkap Panembahan Gusti Mesir. Kemudian ikut dibawa pula Gusti Tawi. Dari Telok Melano terus ke hulu Sungai Mata – Mata mengambil Gusti Roem (Panembahan Tua), terus mudik lagi ke Sungai Pinang mengambil Gusti Umar. Supir Gusti Roem yang bernama Dolah, Bujang Kerepek, dan Tengku Ajung (menantu Gusti Roem) juga ditangkap. Menurut cerita Utin Tahara (istri dari Gusti Mesir semasa hidup tahun 1950-an) setelah Gusti Mesir kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, dia berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menagkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaiannya baik siang maupun malam, bahkan tidurpun beliau masih mengenakan sepatu.
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu kempetai-kempetai Jepang itu datang lagi ke istana dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan merekapun tidak menyatakan sesuatu apapun. Beredar isu bahwa Jepang mencari dua orang tawanan yang hilang yang dimaksud adalah Panembahan Gusti Mesir dan Panembahan Saunan.
Gusti Mesir memiliki lima orang anak yang kesemuanya laki-laki, yaitu: Gusti Ibrahim, Gusti Abdulmuthalib, Gusti Muhammad Mulia, Gusti Mahmud, dan Gusti Mastur.

g). Gusti Ibrahim
Sebagai pengganti Panembahan Gusti Mesir, putra mahkota Gusti Ibrahim sesuai dengan adat kerajaan yang berlaku diangkat melalui musyawarah lima suku, yaitu: Maya, Mengkalang, Siring, Priyayi, Mambal dan dilengkapi pula dengan keturunan dari Panca.
Pengangkatan Panembahan ini atas perintah dari Tuan Bunkenkanrikan Sukadana yang dilaksanakan pada 1 Kugatau 2605. Oleh karena Gusti Ibrahim baru berusia 14 tahun dan masih sekolah, maka ditunjuklah Gusti Mahmud (Pangeran Ratu) bin Gusti Mansur sebagai Mangkubumi. Sampai sekarang Gusti Ibrahim belum dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Simpang Matan.
Selengkapnya pengangkatan Gusti Ibrahim sebagai berikut :

CATATAN HASIL
PENUNJUKKAN DOKOH KERAJAAN SIMPANG

Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang. Berhadir :

Gusti Intan, Yogikai Giin.
Uti Hamzah, Ketua Komisi.
Lim Tek Sun, Lothay.
Busu, Syonco Kota.

Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring, Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.

Selaku wakil-wakil tersebut berkhadir:

Wakil Siring : Adikasuma Manteri Perawat.
Wakil Mambal : S a h m i n .
Wakil Mengkalang : ……………………………..
Wakil M a y a : Johan Syonco II Penjalaan Hulu.
Wakil Priyai : Raden Gondel Syonco Rangkap.
Wakil Panca : Rasip Syonco II Sungai Padu.

Maka dengan memperhatikan dari turunan yang lurus, telah ditunjukkan sebagai Simpang Syuco :

GUSTI IBRAHIM BIN GUSTI MESIR

Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi bernama :

GUSTI MAHMUD BIN GUSTI MANSUR (Pangeran Ratu)


Telok Melano, 1 Kugatau 2605


Syanco Kota dtt. BUSU a.n. Simpang Zitiryo Yogikai Gityo,

Lothay dtt. Lim Tek Sun d.t.t.


Ketua Komisi dtt. Uti Hamzah MASTERT DINGANG

h). Gusti Mahmud (Mangku Bumi) 1945 – 1952
Kekosongan jabatan Panembahan Simpang dikarenakan Panembahan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang dari tahun 1943 sanpai 1945. Diakhir kekuasaan Jepang tahun 1945 diangkatlah Gusti Ibrahim sebagai Panembahan Kerajaan Simpang dengan Mangku Bumi Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala Swapraja Simpang sampai meninggal dunia tahun 1952.

PENGHAPUSAN SWAPRAJA
Setelah berlakunya Undang-Undang No.27 tahun 1959 semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur, dan pada tanggal 4 Juli 1959 pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan Daerah. Berdasarakan Instruksi Gubernur KDH. Propinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja diserah terimakan pada Pemerintah Daerah, dengan ketentuan
- Bekas wakil Panembahan Sukadana dibantukan pada Kantor Wedana Sukadana.
- Anggota-anggota Majlis Swapraja Matan dibantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II
   Ketapang.
- Semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang.
- Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
- Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok Melano.

(Disunting dari Buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura, Gusti Mhd. Mulia)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...