1. Sejarah
Kesultanan Gunung Tabur merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Bersama dengan Kesultanan Sambaliyung, Kesultanan Gunung Tabur pernah menyatu dalam satu nama dan sistem pemerintahan Kerajaan Berau. Awal mula perpecahan tersebut terjadi pada abad ke-17, yaitu ketika penjajah Belanda memasuki Kerajaan Berau dengan berkedok sebagai pedagang (VOC). Belanda kemudian menerapkan “devide et empera” (politik perpecahan) pada tahun 1810 yang menyebabkan Kerajaan Berau terpecah. Pecahnya kerajaan ini bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke Berau yang dibawa oleh Imam Sambuayan dengan pusat penyebarannya di sekitar Desa Sukan.
Kesultanan Gunung Tabur terletak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Fakta sejarah yang dapat membuktikan adanya kesultanan ini adalah istana Gunung Tabur. Bagan istana ini sebenarnya telah rusak sejak Perang Dunia ke-2. Namun, secara umum bangunan istana masih bisa dinikmati peninggalan sejarahnya. Letak istana ini berhadap-hadapan dengan Istana Sambaliyung. Istana Gunung Tabur terletak di tepi Sungai Sagan dan Istana Sambaliyung terletak di tepi Sungai Kelay.
Peninggalan kesultanan ini, di samping istana, juga terdapat Keraton Gunung Tabur. Letak keraton ini juga berhadapan dengan Keraton Sambaliyung yang dibelah oleh Sungai Berau. Tempat ini kemudian berubah sebagai Museum Batiwakkal, yang bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit melalui jembatan Segah atau tiga menit jika memilih naik ketinting. Museum ini dibangun pada 1990 dan diresmikan pada 1992. Di museum ini tersimpan sekitar 700 koleksi berharga berupa benda sejarah, keramik, benda arkeologis, etnografis, dan naskah. Kini, musem ini telah menjadi tempat wisata yang menarik dikunjungi oleh wisatawan. Para pengunjung juga dapat melihat kediaman Putri Keraton Gunung Tabur.
2. Silsilah
Silsilah Sultan dalam Kesultanan Gunung Tabur adalah sebagai berikut:
Zainul Abidin II bin Badruddin (1820-1834)
Ayi Kuning II bin Zainul Abidin (1834-1850)
Amiruddin Maharaja Dendah I (1850-1876)
Hasanuddin II Maharaja Dendah II bin Amiruddin (1876-1882)
Si Atas (1882- …)
(Bupati) Maulana Ahmad (…-1921)
Muhammad Khalifatullah Jalaluddin (1921-1951)
Aji Raden Muhammad Ayub (1951 – 1960)
NB: Masih ada sejumlah sultan yang belum tercatat secara lengkap periode kekuasaannya.
3. Periode Pemerintahan
Kesultanan Gunung Tabur berdiri sejak terpisah dari Kerajaan Berau, yaitu sejak tahun 1820 hingga menyatu kembali dalam tata pemerintahan Kabupaten Berau pada tahun 1960. Artinya bahwa kesultanan ini sempat eksis selama hampir satu setengah abad. Pada tahun 1960, bersama dengan Kesultanan Sambaliyung, Kesultanan Gunung Tabur secara resmi dihapuskan eksistensinya melalui keputusan parlemen Indonesia. Kesultanan Gunung Tabur kemudian menjadi nama sebuah kecamatan dalam lingkup Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Gunung Tabur meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Gunung Tabur.
Sumber :
Dinas Pariwisata Kab. Berau
Kesultanan Gunung Tabur merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Bersama dengan Kesultanan Sambaliyung, Kesultanan Gunung Tabur pernah menyatu dalam satu nama dan sistem pemerintahan Kerajaan Berau. Awal mula perpecahan tersebut terjadi pada abad ke-17, yaitu ketika penjajah Belanda memasuki Kerajaan Berau dengan berkedok sebagai pedagang (VOC). Belanda kemudian menerapkan “devide et empera” (politik perpecahan) pada tahun 1810 yang menyebabkan Kerajaan Berau terpecah. Pecahnya kerajaan ini bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke Berau yang dibawa oleh Imam Sambuayan dengan pusat penyebarannya di sekitar Desa Sukan.
Kesultanan Gunung Tabur terletak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Fakta sejarah yang dapat membuktikan adanya kesultanan ini adalah istana Gunung Tabur. Bagan istana ini sebenarnya telah rusak sejak Perang Dunia ke-2. Namun, secara umum bangunan istana masih bisa dinikmati peninggalan sejarahnya. Letak istana ini berhadap-hadapan dengan Istana Sambaliyung. Istana Gunung Tabur terletak di tepi Sungai Sagan dan Istana Sambaliyung terletak di tepi Sungai Kelay.
Peninggalan kesultanan ini, di samping istana, juga terdapat Keraton Gunung Tabur. Letak keraton ini juga berhadapan dengan Keraton Sambaliyung yang dibelah oleh Sungai Berau. Tempat ini kemudian berubah sebagai Museum Batiwakkal, yang bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit melalui jembatan Segah atau tiga menit jika memilih naik ketinting. Museum ini dibangun pada 1990 dan diresmikan pada 1992. Di museum ini tersimpan sekitar 700 koleksi berharga berupa benda sejarah, keramik, benda arkeologis, etnografis, dan naskah. Kini, musem ini telah menjadi tempat wisata yang menarik dikunjungi oleh wisatawan. Para pengunjung juga dapat melihat kediaman Putri Keraton Gunung Tabur.
2. Silsilah
Silsilah Sultan dalam Kesultanan Gunung Tabur adalah sebagai berikut:
Zainul Abidin II bin Badruddin (1820-1834)
Ayi Kuning II bin Zainul Abidin (1834-1850)
Amiruddin Maharaja Dendah I (1850-1876)
Hasanuddin II Maharaja Dendah II bin Amiruddin (1876-1882)
Si Atas (1882- …)
(Bupati) Maulana Ahmad (…-1921)
Muhammad Khalifatullah Jalaluddin (1921-1951)
Aji Raden Muhammad Ayub (1951 – 1960)
NB: Masih ada sejumlah sultan yang belum tercatat secara lengkap periode kekuasaannya.
3. Periode Pemerintahan
Kesultanan Gunung Tabur berdiri sejak terpisah dari Kerajaan Berau, yaitu sejak tahun 1820 hingga menyatu kembali dalam tata pemerintahan Kabupaten Berau pada tahun 1960. Artinya bahwa kesultanan ini sempat eksis selama hampir satu setengah abad. Pada tahun 1960, bersama dengan Kesultanan Sambaliyung, Kesultanan Gunung Tabur secara resmi dihapuskan eksistensinya melalui keputusan parlemen Indonesia. Kesultanan Gunung Tabur kemudian menjadi nama sebuah kecamatan dalam lingkup Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Gunung Tabur meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Gunung Tabur.
Sumber :
Dinas Pariwisata Kab. Berau