Wednesday, January 16, 2013

KERAJAAN LAHA(1314-KINI)



Laha adalah sebuah negeri yang terletak di pulau Ambon, tepatnya terletak di h ujung teluk pulau Ambon yang dibatasi oleh tanjung Alang dan tanjung Nusaniwe. Negeri Laha pada mulanya bernama Toisapua Sopaini yang kemudian berganti menjadi Toisapua Sopaini Yamano Nusa Laha, berpusat di atas puncak gunung Sakula iaitu Negeri Tua, dimana para Kapitan dan ketua adat negeri ini bermukim yang ditandai dengan sebuah batu prasasti yang sakral “HATU MA’ATUNU KAMAR KULA UTE SAMPIRANG “, iaiitu batu prasasti dimana mereka berkumpul untuk bermusyawarah dalam segala hal yang berkaitan dengan Negeri mereka.Cakalele adat hu’ur nitu sakula mengawal Raja tuan tanah adat beserta Kapitan-kapitan dan ketua adat dari soa Hehuat turun dari negeri Tua berbondong-bondong menuju pantai dan mulai bermukim di sana. Negeri Laha terbentuk pada tahun 1314 dengan luas wilayah kurang lebih 500 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah Utara dengan : Negeri Seith Kecamatan Leihitu
Sebelah selatan dengan : Teluk Ambon
Sebelah Timur dengan : Teluk Ambon
Sebelah Barat dengan : Negeri Hatu Kecamatan Leihitu

Negeri Laha pada awalnya dihuni oleh 5 (Lima) Soa/Marga asli yang terdiri dari :

1. Soa Hehuat (Tuan tanah / Kepala Adat )
2. Soa Laturua ( Tabib/Tukang pengobatan)
3. Soa Mewar I (Raja)
4. Soa Mewal (Tukang)
5. Soa Mewar 2 (Penghulu/Imam)

Kewujudan  dan keadaan  penduduk setempat masihlah primitif yang berfahamkan animisme, hingga muncullah seorang penyiar agama islam di Maluku, Sultan Chairun Djamil yang berasal dari Ternate untuk membebaskan mereka dari keterbelakangan, mencuba memadankan budaya islam dengan adat istiadat setempat. Bersama khaddamnya (pembantu) kemudian berlabuhlah perahu mereka yang disebut dengan Sope-Sope di tepi pantai negeri Toisapu Sopaini ini, letak negeri ini sangatlah strategis di mata Sultan Khairun Jamil, hingga ia melontarkan ucapan: “Taha-taha Belo Joua Laha suange”, yang ertinya; Tanamlah tokang (gala), di sini pelabuhan yang bagus. Dari sinilah nama Negeri ini berasal dan sejak itu pun berubah menjadi LAHA yang bererti BAGUS, yang kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda mengadakan pendataan ulang terhadap Dati-dati yang ada di pulau Ambon pada tahun 1814 M (Berdasarkan Register Dati Negeri Laha).  Dengan kedatangan Sultan Khairun Jamil, telah membahawa banyak perubahan di Negeri ini terutama adat istiadat yang banyak berbau dengan islam dan bahasa Tanah pun mulai bercampur dengan sedikit bahasa Ternate.

Kehidupan masyarakat mengalami perubahan, dimana mulai berfikir untuk berusaha dan maju, sebagai nelayan yang mahir membuat perahu dan menangkap ikan juga cara pemasarannya melalui barter dengan negeri lain, dan sebahagian penduduknya masih bercocok tanam, hingga negeri ini menjadi ramai dan tempat berkumpul sebagaian penduduk dari negeri lain. Beliau juga telah menaruh batu pertama sebuah mesjid di Laha dengan ukuran kubah 4x4m dan mesjid tersebut dinamakan Mesjid Jame’ Sultan Chairun Djamil sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasanya, hingga kini mesjid itu telah mengalami 3 (tiga) kali pemugaran. Pada zaman Belanda, ukuran mesjid ini diperbesar luasnya menjadi 8×8 m2. Pada saat masuknya Jepang, bangunan mesjid ini hancur berantakan, dan setelah Jepang meninggalkan Indonesia, kembali bangunan mesjid ini dipugar dan diperbesar menjadi 12×12 m2. Konon kabarnya kubur Sultan Khairun Djamil berada di antara Ternate dan Tidore, padahal sebenarnya adalah kuburan beliau berada di belakang mesjid Laha yang dikenal dengan keramat.



pemerintah (memakai gelaran Raja)

1).... - 1812                Hading Mewar 


2)1812 - 1875                Rabul Mewar


3)1875 - 1917                Hamzah Mewar


  1917 - 1925
                Vacant

4)1925 - 1936                Abdullah Mewar

5)1936 - 1946                Husein Mewar


6)1946 - 1953                Habib Ali bin Tahir


  1953 - 1963
                Vacant

7)1963 - 1982                Muhammad Mewar

8)1983 - 1987                Husein Henaulu                     (b. 1934)


9)1987 - 1988                Ahmad Partola


   1988 - 1994
                Vacant

10)1994                       Junaid Mewar

   1994 - 1998
                Vacant

11)1998 - 2002                Franky Mewar 

12)2002 -                     Habib Al-Fachri bin Tahir          (b. 1970)

Tuesday, January 15, 2013

KESULTANAN BACAN(1322-1889-KINI)

Bendera Kesultanan Bacan
[Bacan]

KRONOLOGI;

1322                       Kesultanan Bacan Di tubuhkan
 
Sultans (memakai gelaran Kolano Madehe)

1)1660 - 1706                Sultan Alauddin II

2)1706 -  2 Jan 1715         Sultan Musa Malikuddin


3)1715 - 17 Feb 1732         Sultan Kie Nasiruddin


4)1732 - 1741
               Sultan Hamza Tarafan Nur

5)1741 - 1780                Sultan Muhammad Sahadin

6)1780 - 1788                Sultan Skander Alam

7)1788 - 1787
               Sultan Muhammad Badaruddin

8)1797 - 1826                Sultan Kamarullah 

9)1826 - 19 Jul 1861         Sultan Muhammad Hayatuddin 
        (b. 1795 - d. 
1861)
                             Kornabei Syah Putera                      
10)14 May 1862 - 27 Feb 1889  Sultan Muhammad Sadik Syah         (d. 1889) 

11)1889 - 1899                Regency council (three members)

12)28 Aug 1899 - 24 Apr 1935  Sultan Muhammad Usman Syah

13)1935 - 1956                Sultan Muhammad Muhsin Syah        (d. 1983) 


14)2001 - 21 Sep 2009         Sultan Gahral Aydan Syah           (b. 1943 - d. 

2009)

15)2009 -                     Sultan Al-Abd-Al-Rahim Gary ibn
   (b. 1969)
                              Gahral (Gary Ridwan Syah)

 

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BACAN

 

Sejarah Kabupaten Halmahera Selatan berawal dari sejarah tentang  “Jazirat al-Mulk”iaitu nama kepulauan di ufuk timur bahagian utara dari kepulauan Indonesia. Istilah“Jazirat al-Mulk” yang diberikan para saudagar Arab ini mempunyai arti: negeri raja-raja. Selain itu, dikenal juga, istilah“Jazirah tuil Jabal Mulku“ dengan Pulau Halmahera sebagai pulau induk dari di kawasan ini.
Dari kata Muluk dan Mulku inilah yang kemudian menjadi Moluco menurut ucapan dan ortografi orang Portugis, Moluken menurut orang Belanda dan terakhir orang Indonesia sendiri disebut Maluku.
Catatan sejarah tentang “Jazirah tuil Jabal Mulku“ berlanjut dengan kemunculan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku) yang terdiri atas:

1. Kesultanan Bacan
2. Kesultanan Jailolo
3. Kesultanan Tidore
4. Kesultanan Ternate

Bacan,erti harfiahnya adalah:(mem-) baca.  Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.

Sultan Ternate iaitu Sultan Musaffar Syah menyatakan bahwa makna dari“ bacan” atau “membaca” adalah memasukkan sesuatu, atau usaha sedar yang dilakukan seseorang untuk memasukkan sesuatu ke dalam otaknya untuk menjadi pengetahuan. Makna tersebut tidak bisa dilepaskan juga dengan tugas dan fungsi Sultan
Bacan dalam Kesultanan Moloku Kie Raha yaitu: memasok logistik. Bacan dalam beberapa manuskrip sejarah sering juga ditulis sebagai Bachian, Bachanatau Batjan; dan diduga sudah wujud sejak tahun 1322. Kesultanan Bacan berpusat di Pulau Bacan. Wilayah Kesultanan Bacan pada saat jayanya cukup luas, iaitu dari Maluku hingga ke wilayah Papua.Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain berada di bawah administrasi pemerintahan Kesultanan Bacan pada masa jayanya.
Pengaruh bangsa Eropah pertama di Pulau Bacan diawali oleh Portugis yang kemudian membangunkan benteng pada tahun1 558. Bernevald Fort adalah benteng Portugis yang masih utuh berdiri di Pulau Bacan sampai sekarang. Pada tahun 1609 benteng ini diambil alih oleh VOC
yang menandai awal penguasaan Hindia Belanda di Pulau Bacan. Pada tahun 1889 sistem  monarki Kesultanan Bacan digantikan  dengan sistem kepemerintahan di bawah kontrol Hindia Belanda.
Pulau Bacan tidak hanya mempunyai peranan dalam pengeluaran cengkeh dan pala pada masa itu, akan tetapi juga menjadi pusat kontrol atas pengeluaran dan penghasilan cengkeh dan  paladi Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Halmahera.                              

KERAJAAN TANAH HITU(1470-1682)










 

 

 

Sejarah Kerajaan Tanah Hitu

Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.



Sejarah

Hubungan dengan kerajaan lain
Kerajaan ini memiliki hubungan erat dengan barbagai kerajaan Islam di Pulau Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan Banten, Sunan Giri di Jawa Timur dan Kesultanan Gowa di Makassar seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu pula hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk; semenanjung raja-raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.
Empat Perdana Hitu
Etimologi
Kata Perdana adalah asal kata dari bahasa Sanskerta artinya Pertama. Empat Perdana adalah empat kelompok yang pertama datang di Tanah Hitu, pemimpin dari Empat kelompok dalam bahasa Hitu disebut Hitu Upu Hata atau Empat Perdana Tanah Hitu.
Awal mula kedatangan
Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn.
Orang Alifuru
Orang Alifuru adalah sebutan untuk sub Ras Melanesia yang pertama mendiami Pulau Seram dan menyebar ke Pulau-Pulau lain di Maluku, adapun Alifuru berasal dari kata Alif dan kata Uru, Kata Alif adalah Abjad Arab yang pertama sedangkan kata Uru’ berasal dari Bahasa Tana yang artinya Orang maka Alifuru artinya Orang Pertama.
Periode kedatangan Empat Perdana Hitu
Kedatangan Empat Perdana itu ke Tanah Hitu secara periodik :
  1. Pendatang Pertama adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat) kemudian ke Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tahun kedatangannya tidak tertulis.
    Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
  2. Pendatang Kedua adalah Kiyai Daud dan Kiyai Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri dengan saudara Perempuannya bernama Nyai Mas.
    • Menurut silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak dari :
      Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
      Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
      Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
    • Disana mereka temukan Keramat atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu karang. Tempat itu bernama Hatu Kursi atau Batu Kadera (Kira-Kira 1 Km dari Negeri Hitu). Peristiwa kedatangan beliau tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan cerita turun – temurun.
    • Perdana Tanah Hitu Tiba di Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a) pada tahun 1440 pada malam hari, dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete artinya hitam gelap gulita sesuai warna alam pada malam hari.
    • Mereka tinggal disuatu tempat yang diberi nama sama dengan asal Ibu mereka yaitu Tuban / Ama Tupan (Negeri Tuban) yakni Dusun Ama Tupan/Aman Tupan sekarang kira-kira lima ratus meter di belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya di Pesisir Pantai yang bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti.
    • Perdana Pattikawa disebut juga Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya orang yang pertama mendirikan negerinya di Pesisir pantai, nama negeri tersebut menjadi nama soa atau Ruma Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu.
  3. Kemudian datang lagi Jamilu dari Kerajaan Jailolo . Tiba di Tanah Hitu pada Tahun 1465 pada waktu magrib dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau warna merah (warna bunga) sesuai dengan corak warna langit waktu magrib. Mendirikan negerinya bernama Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama marganya yaitu Lating. Jamilu disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi, Nustapi artinya Pendamai, karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah Hitu dengan Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau, dia juga digelari Kapitan Hitu I.
  4. Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Salat) sore hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada waktu Ashar (waktu salat).
    Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistem pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
Penggabungan Empat Perdana Hitu
Oleh karena banyaknya pedagang-pegadang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu dan Tiongkok berdagang mencari rempah-rempah di Tanah Hitu dan banyaknya pendatang – pendatang dari Ternate, Jalilolo, Obi, Makian dan Seram ingin berdomisili di Tanah Hitu, maka atas gagasan Perdana Tanah Hitu, ke Empat Perdana itu bergabung untuk membentuk suatu organisasi politik yang kuat yaitu satu Kerajaan.
Kemudian Empat Perdana itu mendirikan negeri yang letaknya kira-kira satu kilo meter dari Negeri Hitu (sekarang menjadi dusun Ama Hitu/Aman Hitu) disitulah awal berdirinya Negeri Hitu yang menjadi Pusat kegiatan kerajaan Tanah Hitu, bekasnya sampai sekarang adalah Pondasi Mesjid. Mesjid tersebut adalah mesjid pertama di Tanah Hitu, mesjid itu bernama Masjid Pangkat Tujuh karena struktur pondasinya tujuh lapis. Setelah itu Empat Perdana mengadakan pertemuan yang di sebut TATALO GURU (red: duduk guru)artinya kedudukan adat atas petunjuk UPUHATALA (ALLAH TA’ALA-- metafor bahasa dari dewa agama Kakehang yaitu agama pribumi bangsa seram), mereka bermusyawara untuk mengangkat pemimpin mereka, maka dipililah salah seorang anak muda yang cerdas dari keturunan Empat Perdana yaitu anak dari Pattituri adik kandung Perdana Pattikawa atau Perdana Tanah Hitu yang bernama Zainal Abidin dengan Pangkatnya Abubakar Na Sidiq sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama yang bergelar Upu Latu Sitania pada tahun 1470.
Latu Sitania terdiri dari dua kata yaitu Latu dan Sitania,dalam bahasa Hitu Kuno Latu artinya Raja dan Sitania adalah pembendaharaan dari kata Ile Isainyia artinya dia sendiri, maka Latu Sitania artinya Dia sendiri seorang Raja di Tanah Hitu, dalam bahasa Indonesia modern artinya Raja Penguasa Tunggal, sedangkan pada versi dari Hikayat Tanah Hitu karya Imam Ridzali: latu berarti raja dan Sitania ( tanya,ite panyia) berarti tempat mencari faedah baik dan buruk berraja.
Tujuh Negeri di Tanah Hitu
Sesudah terbentuk Negeri Hitu sebagai pusat Kerajaan Tanah Hitu kemudian datang lagi tiga clan Alifuru untuk bergabung, diantarannya Tomu, Hunut dan Masapal. Negeri Hitu yang mulanya hanya merupakan gabungan empat negeri, kini menjadi gabungan dari tujuh negeri. Ketujuh negeri ini terhimpun dalam satu tatanan adat atau satu Uli (Persekutuan) yang disebut Uli Halawan (Persekutuan Emas), dimana Uli Halawan merupakan tingkatan Uli yang paling tinggi dari keenam Uli Hitu (Persekutuan Hitu). Pemimpin Ketujuh negeri dalam Uli Halawan disebut Tujuh Panggawa atau Upu Yitu. (sebutan kehormatan).
Gabungan Tujuh Negeri menjadi Negeri Hitu diantaranya :
  1. Negeri Soupele
  2. Negeri Wapaliti
  3. Negeri Laten
  4. Negeri Olong
  5. Negeri Tomu
  6. Negeri Hunut
  7. Negeri Masapal
Sastra bertutur
Kapatah Tanah Hitu dari Uli Halawan dalam bahasa Hitu : Upu Lihalawan-e Sopo Himi - o Hitu Upu-a Hata Tomu-a Upu-a Telu Nusa Hu’ul Amana Lima Laina Malono Lima Pattiluhu Mata Ena Artinya Tuan Emas Yang di Junjung (Raja Tanah Hitu) Hitu Empat Perdana Tomu Tiga Tuan (Tiga Pemimpin Ken Tomu) Kampung Alifuru Lima Negeri Lima Keluarga dari Hoamual (Waliulu, Wail, Ruhunussa, Nunlehu, Totowalat)

Lane atau Kapatah (Sastra bertutur) dari klen Hunut dalam bahasa Hitu yang masih hidup sampai sekarang yang menyatakan dibawah perintah Latu Hitu (Raja Hitu):
“yami he’i lete, hei lete hunut – o
“yami he’i lete, hei lete hunut – o
aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o
aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o
yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o
yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o
waai-ya na silawa lete huni mua-o
waai-ya na silawa lete huni mua-o
suli na silai salane kutika-o
suli na silai salane kutika-o
awal le e jadi lete elia paunusa-o”
awal le e jadi lete elia paunusa-o”
Artinya :
Kami dari Hunut, Kami dari HunutKami dari Hunut, Kami dari HunutNegeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong,Negeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong, Kami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah HituKami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah HituOrang Waai sudah Lari Pergi Ke HunimuaOrang Waai sudah Lari Pergi Ke Hunimua Orang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabungOrang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabungKejadian ini terjadi pertama di gunung Elia PaunussaKejadian ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa
Pada pemerintahan Raja Mateuna’ Negeri Hitu sebagai pusat kegiatan Kerjaan Tanah Hitu di Pindahkan ke Pesisir Pantai pada awal abad XV masehi kini Negeri Hitu sekarang, Raja Mateuna’ adalah Raja Kerajaan Tanah Hitu yang ke lima dan juga merupakan raja yang terakhir pada pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu yang pertama sekarang menjadi dusun Ama Hitu letaknya kira-kira satu kilo meter dari negeri Hitu sekarang, beliau meninggal dunia pada 29 Juni 1634. Pada masa Raja Mateuna’ terjadi kontak pertama antara Portugis dengan Kerajaan Tanah Hitu, perlawanan fisik pada Perang Hitu- I Pada tahun 1520-1605 di pimpin oleh Tubanbessy-I, yaitu Kapitan Sepamole, dan akhirnya Portugis angkat kaki dari Tanah Hitu dan kemudian mendirikan Benteng Kota Laha di Teluk Ambon (Jazirah Lei timur) pada tahun 1575 dan mulai mengkristenkan Jazirah Lei Timur. Raja Mateuna meninggalkan dua Putra yaitu Silimual dan Hunilamu, sedangkan istrinya berasal dari Halong dan Ibunya berasal dari Negeri Soya Jazirah Leitimur (Hitu Selatan), beliau digantikan oleh Putranya yang ke dua yaitu Hunilamu menjadi Latu Sitania yang ke Enam (1637–1682). Sedangkan Putranya pertamanya Silimual ke Kerajaan Houamual (Seram Barat) berdomisili disana dan menjadi Kapitan Huamual, memimpin Perang melawan Belanda pada tahun 1625-1656 dikenal dengan Perang Hoamual dan seluruh keturunannya berdomisili disana sampai sekarang menjadi orang asli Negeri Luhu (Seram Barat) bermarga Silehu. Sesudah perginya Portugis Belanda makin mengembangkan pengaruhnya dan mendirikan Benteng pertahanan di Tanah Hitu bagian barat di pesisir pantai kaki gunung wawane, maka Raja Hunilamu memerintahkan ketiga Perdananya mendirikan negeri baru untuk berdampingan dengan Belanda (Benteng Amsterdam), agar bisa membendung pengaruh Belanda di Tanah Hitu, Negeri itu dalam bahasa Hitu bernama Hitu Helo artinya Hitu Baru, karena makin berkembangnya pangaruh dialek bahasa, akhirnya kata Helo menjadi Hila yaitu Negeri Hila sekarang dan negeri asal mereka Negeri Hitu berganti nama menjadi Negeri Hitu yang Lama. Belanda tiba di Tanah Hitu pada tahun 1599 dan kemudian mendirikan kongsi dagang bernama V.O.C pada tahun 1602 sejak itulah terjadi perlawanan antara Belanda dengan Kerjaan Tanah Hitu, karena mendirikan monopoli dagang tersebut, puncaknya terjadi Perang Hitu – II atau Perang Wawane yang dipimpin oleh Kapitan Pattiwane anaknya Perdana Jamilu dan Tubanbesi-2, yaitu Kapitan Tahalele tahun 1634 -1643 dan Kemudian perlawanan Terakhir yaitu perang Kapahaha 1643 - 1646 yang dipimpin oleh Kapitan Talukabesi (Muhammad Uwen) dan Imam Ridjali setelah Kapitan Tahalele menghilang, berakhirnya Perang Kapahaha ini Belanda dapat menguasi Jazirah Lei Hitu. Belanda melakukan perubahan besar-besaran dalam struktur pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu yaitu mengangkat Orang Kaya menjadi raja dari setiap Uli sebagai raja tandingan dari Kerajaan Tanah Hitu. Hitu yang lama sebagai pusat kegiatan pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu di bagi menjadi dua administrasi yaitu Hitulama dengan Hitumessing dengan politik pecah belah inilah (devidet et impera) Belanda benar-benar menghancurkan pemerintah Kerajaan Tanah Hitu sampai akar-akarnya.
Negeri – Negeri di Jazirah Lei Hitu yang tidak termasuk di dalam Uli Hitu berarti negeri-negeri tersebut adalah negeri – negeri baru atau negeri-negeri yang belum ada pada zaman kekuasaan Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682).Ketujuh Uli diantaranya :
1. Uli Halawang terdiri dari dua negeri yaitu:
  • Negeri Hitu
  • Negeri Hila
Central Ulinya di Negeri Hitu
2. Uli Solemata (Wakane) terdiri dari tiga negeri yaitu:
  • Negeri Tial
  • Negeri Molowael(Tengah-Tengah)
  • Negeri Tulehu
Central Ulinya di Negeri Tulehu
3.Uli Sailesi terdiri dari empat negeri yaitu:
  • Negeri Mamala
  • Negeri Morela
  • Negeri Liang
  • Negeri Wai
Central Ulinya di Negeri Mamala
4.Uli Hatu Nuku terdiri dari satu negeri yaitu :
  • Negeri Kaitetu
Central Ulinya di Kaitetu
5.Uli Lisawane terdiri dari satu negeri yaitu :
  • Negeri Wakal
Central Ulinya di Wakal
6.Uli Yala terdiri dari tiga negeri yaitu :
  • Negeri Seith
  • Negeri Ureng
  • Negeri Allang
Central Ulinya di Seith
7.Uli Lau Hena Helu terdiri dari satu negeri yaitu :
  • Negeri Lima
Central Ulinya di Negeri Lima

Sumber artikel: http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tanah_Hitu

KESULTANAN JAILOLO(1380-KINI)

Bendera Kesultanan Jailolo
[Jailolo]
Kronologi

1380                       pemerintah Jailolo di kenali Jikoma Kolano,di kuasai 
                           oleh  pengaruh Kesultanan Ternate
 
1557 - 1796                di bawah kuasa Kesultanan Ternate 
 
1803 - ....                vassal Kesultanan Ternate

1832                       d bawah penagaruh Belanda


1875 - 1876                di hapuskan oleh Belanda sepenuhnya


2002                       Kesultanan di hidupkan semula



Rulers ( Jikoma Kolano)
1605 - 1613                Doa

1613 - 1656                Saiuddin


1656 - 1684                Alam

1684 - 17..                .... (unknown)                     (d. 1715)


Sultans ( Jikoma Kolano)

1784 - 1805                Muhammad Arif Bila 


1805 - 1808                Vacant

 
1808 - 1832                Muhammad Asgar  

                   (d. 1839)
1832                       Saifuddin Jehad Muhammad
Hajuddin  (d. 1846)

                             Syah                            
1875 - 1876                Danu Hasan                         (b. 1832 -  

  21 Nov 2010     Abdullah Syah                     

Sejarah Kesultanan Jailolo


Suatu hal yang jarang dilakukan oleh para pemerhati sejarah dan budaya “Moloku Kie Raha” (Maluku Utara) adalah membahas tentang Kesultanan Jailolo di pulau Halmahera yang telah lama kosong. Hal ini disebabkan minimanya sumber dan rujukan yang menunjang pembahasan tentang hal itu. Dalam penulisan sejarah oleh bangsa Eropah, Jailolo sering ditulis “Gilolo” yang menurut sebahagian besar sumber barat dianggap sebagai kerajaan tertua di kawasan Maluku bahagian utara, (kerajaan pertama dan tertua di jazirah maluku).


penobatan-abdullah-syah-sebagai-sultan-jailolo2


Menelusuri dan membahas jejak sejarah kesultanan Jailolo, menjadi lebih menarik akhir-akhir ini, setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi Sultan Jailolo yang dilakukan di dalam keraton kesultanan Ternate atas perkenan Sri Sultan Ternate ; H. Mudafar Syah II pada beberapa tahun yang lalu. Yang lebih menarik lagi dari itu adalah menelusuri keturunan dan sisilah para raja Jailolo itu sendiri.
Sekadar info, bahawa beberapa peneliti sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti ; Donald P. Tick gRMK (di Belanda), Christoper Buyers dan Hans Hagerdal hingga saat ini pun belum dapat membuat satu tulisan atau buku yang membahas tentang jejak sejarah dan sisilah raja-raja Jailolo secara utuh dan detail. masalah utama yang dihadapi adalah keterbatasan sumber dan rujukan utama dalam mencari bukti2 kembali fakta sejarah perjalanan kesultanan Jailolo. pada masa ini, baru terdapat ahli sejarah ternama dari Universiti Indonesia Prof. DR. Richard Z. Leiriza yang sudah pernah membuat beberapa karya tulisan tentang sejarah Raja Jailolo dalam meraih gelar Ph.D tahun 1990 dengan Dissertasi berjudul “Raja Jailolo dan Halmahera Timur: Pergolakan di Laut Seram di awal abad ke-19” (The King of Jailolo and Eastern Halmahera: Social upheavals in the Seram Sea during the early 19th century). Kemudian dipublikasikan oleh Balai Pustaka, tahun 1994.

juru-tulis-lamo's-paper

Buku ini membahaskan  secara detail tentang sepak terajang raja Jailolo yang berkuasa di Halmahera timur dan pulau Seram di Maluku Tengah. (yang menurut periodesasi versi saya adalah periode Kesultanan Jailolo Tahap II dan III saja). Kerana yang dibahas oleh beliau adalah “hanya” kejadian atau tempoh antara tahun 1811 hingga 1832 saja yang menjadi kekuatan penulisannya. Sedangkan kronologi perjalanan sejarah kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya “Kolano Daradjati” hingga saat ini, belum ada satupun ahli sejarah yang mengungkapkan “the hidden history” tersebut. Namun demikian, karya besar Prof. DR. Richard Z. Leiriza tersebut merupakan sebuah hasil kajian yang spektakuler yang belum pernah ditulis oleh siapapun tentang kronologi secara detail pada periode tersebut.

Salah satu buku yang juga cukup banyak menguraikan tentang sejarah Sultan Jailolo Tahap II (Muhammad Arif Bila) seorang Sangadji Tahane yang diangkat oleh NUKU dari Tidore untuk melengkapi keempat pilar MOLOKU KIE RAHA adalah karya besar ELVIANUS KATOPPO yang berjudul ; “NUKU, Sultan Saidul Jehad Muhammad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan alisa Jou BarakatiSULTAN TIDORE – (Riwayat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Maluku Utara tahun 1780 – 1805)“.
Memang sumber dan referensi sejarah tentang kesultanan Jailolo sangat minima sekali. Namun demikian dari ratusan ribu penduduk Maluku Utara yang hidup saat ini, ternyata masih ada beberapa komuniti yang masih menyimpan dokumen salinan sisilah keturunan raja-raja Jailolo, yang ditulis pada selembar “old manuscript”.  Daftar sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bahagian. Lembaran besar adalah huraian daftar sisilah yang skemanya diuraikan seperti “pohon terbalik” yang seluruh tulisan nama-namanya beraksara Arab, satu lembaran lagi adalah salinan ulang yang juga dalam aksara Arab namun lebih diperinci dan diperjelaskan dengan melingkari tiap-tiap nama yang tertera kerana lembarann aslinya sudah hampir lapuk, sedangkan satu lagi lembaran kecil bertuliskan huruf arab dan yang berlafadz-kan bahasa Tidore adalah Surat Keterangan yang manjelaskan tentang daftar sisilah tersebut.


original-map-of-mine-since-18562

Ketiga lembaran bersejarah ini ditulis dalam aksara Arab dengan tulisan tangan bertanggal 4 Rabbiul awal 1277 H, yang di kira berdasarkan kalender Masehi adalah bertepatan dengan hari Rabu tanggal 19 September 1860 yang ditulis tangan oleh Sekretaris Besar Kesultanan Tidore yang biasa disebut “Jurutulis Lamo” yang waktu itu dijabat oleh Hasan ud-din. Keterangan ini dilengkapi dan disahkan dengan bubuhan “tanda cap asli” kesultanan Tidore (bakar tempel – bukan tinta). Original paper-nya, saat ini ada di tangan salah satu warga kota Ternate yang masih keturunan ke-13 yang diberikan oleh komuniti keturunan SULTAN DOA yang beranak pinak di Soa Sambelo kota Tidore.  Semula, selama hampir seratus tahun lebih daftar sisilah keturunan ini bersemayam di Fola Lamo di Soa Sambelo, namun akhirnya dihantarkan ke sumber informasi ini, yang seraya meminta dirahasiakan identitinya. , juga masih terdapat pada mereka (keturunan Sultan Doa) yang tersebar di beberapa tempat di pulau Tidore (; Soasio-Sambelo, Toloa dan Mareku).
Sebelum Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana yakni di Tidore (Soa Sambelo, Mareku dan Toloa), pulau Ternate (Dufa-Dufa), pulau Moti, pulau Makian dan di pulau Ambon sesuai alur dalam daftar sisilah tersebut, mereka seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya. Bagi mereka itu semua adalah sebahagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka fikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam fikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi “simbol” kesultanan Jailolo moden, membuatkan ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingatkan hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi vassal kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman (Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo di Limau Tagalaya – Jailolo.


translate-to-latin-letter

Kembali pada pembahasan semula…,  Dokumen tentang sisilah raja-raja Jailolo ini dalam historiografi tentang kesejarahan Jailolo adalah sebuah dokumen lama yang sangat diperlukan dalam untuk dijadikan salah satu referensi (sumber otentik) dalam studi kajian tentang hal ini. Hampir semua sumber-sumber tentang sejarah yang berghubungan dengan Jailolo yang ada di Leiden Museum Belanda, Museum Swedia, Museum di Inggeris, dan dokumen Oxford University dan dokumen digital milik Smithsonian Institute USA, tidak pernah diketemukan dokumen seperti ini.
Sebagai pemerhati budaya, tradisi dan sejarah Maluku Utara, saya sangat berminat untuk studi kajian tentang hal ini. Upaya untuk merekontruksi kembali fakta sejarah tentang perjalanan sejarah kesultanan Jailolo terus saya lakukan dengan menghimpun berbagai sumber tertulis baik di dalam negeri maupun sumber asing. Aspek subjektifitas yang mungkin masih ada pada masing-masing penulis sejarah termasuk pada saat ini saya dalam menyajikan artikel ini ke blog, diupayakan untuk diminimalisir sebisa mungkin, agar mencapai sebuah hasil kajian historiografi yang lebih objektif.
Beberapa saat yang lalu saya sering melakukan kontak dan sharing dengan dua orang peneliti sejarah kerajaan2 di Indonesia seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu : Donal P. Tick gRMK dan Christoper Buyers termasuk Hans Hagerdal (silakan searching nama-nama ini di Google Search) sehubungan dengan kajian tentang sejarah kesultanan Jailolo ini. Mereka banyak menulis tentang seputar kerajaan di Indonesia termasuk kerajaan Jailolo. Para ahli sejarah ini tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang sisilah raja-raja Jailolo yang saya kemukakan ini, termasuk keinginan mereka untuk meneliti berasal dari mana sisilah Sultan Abdullah Syah. Abdullah Syah diyakini adalah salah satu dari keturunan dari Prins Gugu Alam turun hingga ke Muhammad Asgar dan Hay ud-din yang dibuang oleh Belanda ke Cianjur  pada tahun 1832. Untuk kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, baru kesultanan Ternate yang sudah dipublikasikan melalui website Royal Ark dalam titel “Ternate, Brief History ”, sedangkan untuk kasultanan Tidore, Jailolo dan Bacan belum ada data lengkap untuk dipublikasikan.
Setelah sekian banyak komunikasi & sharing dengan kedua peneliti sejarah ini, saya mencocokan data ahli sejarah tersebut di atas dengan salinan “old manuscript” tersebut (lihat gambar), maka terdapat banyak kesamaan.
Dengan demikian menurut saya, untuk sementara disimpulkan bahwa; Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan.

view-jailolo-dari-pantai-dufa-dufa-ternate

Menurut sumber ini, Muhamad Arif Bila memiliki 4 orang putera. Ayah dari Muhamad Arif Bila yakni Syah Yusuf (lain dengan Sultan Yusuf yang ayahnya Sultan Doa, beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian di desa Tahane. Muhammad Arif Bila sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis kesultanan Jailolo) beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane. Setelah itu selama sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan Tidore pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari Tidore (1784-1797) yang tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku baru menjadi Sultan di Tidore Muhammad Arif Bila adalah seorang panglima yang handal.
Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.

view-jailolo-dari-bandara-babullah-ternate1

Wilayah kesultanan Jailolo sudah dilebur menjadi wilayah Ternate sejak tahun 1635, sedangkan pada masa kekuasaan Sultan Nuku, bekas wilayah kesultanan Jailolo masuk dalam kekuasaan kesultanan Tidore. Muhammad Arif Bila wafat di daerah Weda pada tahun 1807 karena kecelakaan.
Putera tertuanya Muhammad Asgar diangkat oleh pengikutnya di Halmahera timur menjadi Sultan Jailolo II, pada periode ke-2 ini. Kronologis sejarah kesultanan Jailolo Periode I (pertama) berawal dari Kolano Daradjat dan berakhir pada masa Sultan Doa saja. (Keturunan Sultan Doa masih tercatat jelas dalam sisilah keturunan ini yang tersebar di Maluku Utara, diantaranya; pulau Tidore – paling banyak, pulau Moti, pulau Makian, pulau Ternate, dsb). Hal ini juga menjadi perhatian kedua peneliti tersebut untuk melakukan penelitiannya nanti di masa yang akan datang.
Pada tahun 1810 Muhamad Asgar ditangkap oleh penguasa Inggris karena Inggris yang sedang berkuasa saat itu tidak mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Kemudian pada tahun 1817 Muhammad Asgar diasingkan ke Semarang dan bermukim jauh dari keramaian kota Semarang yakni di sekitar antara daerah Semarang dan Jepara.

gunung-jailolo

Tahun 1825 setelah Belanda kembali berkuasa setelah Inggris, ia dikembalikan lagi ke Maluku Utara dan diangkat oleh penguasa Belanda seperti sebelumnya sebagai Sultan Jailolo dalam pengasingan namun berkedudukan di pulau Seram Maluku Tengah. Adik Muhammad Asgar yakni Kaicil Haji beserta pengikutnya menyusul ke pulau Seram dan akhirnya diangkat Belanda menjadi Sultan Jailolo III dengan nama kebesaran; Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-din Syah.
Karena perselisihan dengan pihak Belanda, akhirnya Sultan Jailolo III ini bersama dengan Jogugu Jamaluddin, Kapita laut Kamadian beserta seluruh keluarga berjumlah 60 orang diasingkan Belanda ke Batavia kemudian ke Cianjur. Beliau wafat pada tahun 1839 di Cianjur Jawa Barat. Akhirnya eksistensi kesultanan Jailolo Tahap III inipun berakhir. Dan Maloku Kie Raha tinggal hanya 3 kesultanan saja, yaitu Ternate, Tidore dan Bacan.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa menurut asumsi saya, kemungkinan dari keturunan inilah, penelusuran dilakukan oleh Sri Sultan Ternate saat ini untuk memilih Abdullah Syah bin Abdul Haryanto dan mengangkatnya menjadi Sultan Jailolo sekarang, adalah berasal dari keturunan di Cianjur ini. Untuk hal ini saya belum sempat melakukan wawancara dengan Sultan Ternate. Selain itu, penunjukan Sultan Jailolo ini juga dilakukan dengan ritual khusus oleh Sultan Mudafar Syah II dan memakan waktu yang cukup lama. (biasanya orang Ternate menyebut Sultan Jailolo dengan sebutanKOLANO JOU TIA”).

abdullah-syah-sultan-jailolo-sekarang

Hal ini tergambar dalam syair lagu yang berjudul “JOU TIA” hasil karya Sultan H. Mudaffar Syah yang dinyanyikan oleh “EL-ELVocal Group pada era tahun 1980-an.
Upaya untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo Tahap IV, pernah dilakukan oleh Dano Baba Hasan pada tahun 1876. Ia meminta pemerintah Belanda mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Menurut beberapa penulis, Dano Baba Hasan adalah kerabat keraton Ternate yang pada tahun 1832 diangkat oleh Sultan Ternate Muhammad Zain menjadi Salahakan (Utusan Sultan) di pulau Seram. Tanggal 21 Juni, Dano Baba Hasan mengakhiri usahanya dan menyerahkan diri kepada Residen Tobias, dan dideportasi ke Ternate dan akhirnya diasingkan ke Muntok di Sumatera. Merunut dari sisilah tersebut, Dano Baba Hasan adalah cucu dari Abdul Gani, saudara bungsu dari Muhamad Asgar dan Muhamad Hayuddin yang dibuang ke Cianjur tersebut.
Setelah periode untuk menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap IV gagal, Upaya untuk itu dimulai lagi yakni pada Periode Jailolo Tahap V dilakukan oleh Dano Jae ud-din di Weda dan Waigeo di Halmahera Timur pada tahun 1914. Seorang Dano dari Ambon yang masih keturunan Dano Baba Hasan mengklaim dirinya sebagai ahli waris, memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo pada periode Tahap V ini. Ia kemudian ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ternate hingga akhir hayatnya. Demikian berakhir pula usaha untuk menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap V juga gagal.
Perlu digaris-bawahi, bahwa semua upaya untuk menghidupkan kembali eksistensi kesultanan Jailolo dan berkuasanya para Sultan Jailolo pada periode II, III, IV dan V, sama sekali bukan berkedudukan di wilayah kesultanan Jailolo yang sebenarnya (Limau Tagalaya), melainkan di tempat pengasingan di luar wilayah kultur kesultanan Jailolo itu sendiri.
Upaya terakhir untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo Tahap VI, maka Sri Sultan Ternate H. Mudafar Syah II mengambil prakarsa untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo yang telah hilang selama ratusan tahun. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi budaya Maluku Utara sebagai symbol pemersatu bangsa dalam wadah NKRI dan juga dalam rangka untuk melengkapi empat pilar persekutuan kerajaan-kerajaan di “Maloku Kie Raha” yang hanya tinggal tiga, yakni; Ternate, Tidore dan Bacan. Dengan menunjuk Sdr. Abdullah Abdul Rahman Haryanto Syah, seorang mantan tentara yang menurut penelusuran beliau adalah keturunan Muhammad Asgar dan Kaicil Hadji yang dibuang oleh Belanda ke Cianjur Jawa barat.
Sebab semua masyarakat di Maluku Utara tahu kalau cuma ada tiga pilar/kesultanan saja, itu bukan berarti Maloku Kie Raha lagi, akan tetapi Maloku Kie Ra’ange. (Admin; Raha=empat, Ra’ange=tiga).
Demikian beberapa sharing saya melalui email dengan kedua penulis asing tersebut. Pada kesempatan terakhir via e-mail, Mr. Donal P. Tick gRMK, meminta kapada saya gambar/foto diri dari Dano Jae ud-din jikalau ada dokumen tentang itu. Tapi saya rasa sulit untuk mendapatkan gambar tentang Dano Jae ud-din yang mereka maksud. Beliau tertarik untuk meneliti pula tentang keturunan dari Dano Jae ud-din ini, kata Mr. Donal P. Tick gRMK menulis dalam e-mail nya :
Interesting about the descendant of Dano Baba Hasan with name Dano Jae ud-din, who was regarded as dynastychief / heir in 1914. Do you know more about him ? A picture of him would be fascinating. I also would like to know, if the present Sultan is taken very seriously. Some say he is only a creation of Sultan Ternate”. Thank you for all. If you want, you can add some info under the picture of Sultan Jailolo on my website at : http://kerajaan-indonesia.blogspot.com”.


Namun sayangnya, pada event SOUTH EAST ASIA ROYAL FESTIVAL di Bali pada tanggal 25-30 November 2008 yang lalu Mr. Donal P. Tick gRMK tidak sempat hadir karena ada mega proyek yang tidak boleh ditinggalkan di Belanda, sehingga rencana kami untuk bertemu muka juga tidak terlaksana. Hal ini sehubungan dengan minat kedua peneliti ini untuk mengungkap apa yang mereka sebut ”The Hidden History of Jailolo”.
Sources :

sumber;dari blog berbahasa indonesia

Monday, January 14, 2013

KESULTANAN TIDORE(1077-1909-KINI)

Bendera Kesultanan Tidore
 
[Tidore state flag]

KRONOLOGI

1450                    Kesultanan Tidore di tubuhkan
 
Sultans (di kenali Kiema Kolano)

1797 - 14 Nov 1805         Sultan Saidul Jihad Muhammad Nabus 
                             Amiruddin Syah "Jou Barakti"
 
1805 - 18..                Sultan Jamal Abidin
 
18.. - 1821                Sultan Muhammad Tahir "Sultan Mossel"
 
1822 - 1856                Sultan al-Mansur II
 
1856 - 1865                Sultan Ahmad Safiuddin Syah
                             "Sultan Arnold Alting"
1865 - 1867                Vacant
 
1867 - 1893                Sultan Said Ahmad Fathuddin Syah
 
1893 - 1904                Sultan Iskandar Shajuddin Nur Amal

 1999 -                     H. Djafar Danoyunus 
 
Susunan Kolano (Raja atau Sultan) yang pernah memerintah Kerajaan Tidore sebelum masuknya agama Islam sebagai berikut :
1. Kolano Syahjati alias Muhammad Nakel
2. Kolano Bosamawango
3. Kolano Suhud aluas Subu
4. Kolano Balibunga
5. Kolano Duko Madoya
6. Kolano Kie Matiti
7. Kolano Seli
8. Kolano Matagena
Setelah agama Islam masuk ke wilayah Maluku Utara pada awal abad ke-11 tepatnya pada tahun 470 H atau 1077 M, yang ditandatangani  dengan kedatangan seorang ulama dari Arab yang bernama Ja’far Shadiq. Mulai saat itu gelar Kolano (Raja) berubah menjadi Sultan. Susunan para Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Tidore sebagai berikut :
1. Sultan Nuruddin, mulai 1334-1372 M
2. Sultan Hasan Syah, mulai 1372-1405 M
3. Sultan Cirililiat alis Jamluddin, mulai 1405-1512 M
4. Sultan Mansyur, mulai 1512-1526 M
5. Sultan Aminuddin Iskandar Zulkarnain, mulai 1526-1535 M
6. Sultan Rijali Mansur, mulai 1535-1569 M
7. Sultan Iskandar Isani alias Amiril Mathlan Syah, mulai 1569-1568 M
8. Sultan Gapi Baguna alias Bifadlil Siradjuddin Arifin, mulai 1568-1600 M
9. Sultan Fola Madjino alias Zainuddin, mulai 1600-1626 M
10. Sultan Ngora Malamo alias Alaudin, mulai 1626-1631 M
11. Sultan Gorontalo alias Saifuddin, mulai 1631-1642 M
12. Sultan Saidi, mulai 1642-1653 M
13. Sultan Mole Manginyau alias Malikidin, mulai 1653-1657 M
14. Sultan Saifuddin alias Djuo Kota, mulai 1657-1674 M
15. Sultan Hamzah Fahruddin, mulai 1674-1705 M
16. Sultan Abdul Fadhlil Masyur, mulai 1705-1708 M
17. Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia, mulai 1708-1728 M
18. Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan, mulai 1728-1757 M
19. Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin, mulai 1757-1779 M
20. Sultan Patra Alam, mulai 1780-1783 M
21. Sultan Hairul Alam Kamaludin Asgar, mulai 1784-1797 M
22. Sultan Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakatai alias NUKU, mulai 1797-1805 M
23. Sultan Zainal Abidin, mulai 1805-1810 M
24. Sultan Motahuddin Mohammad Tahir, mulai 1810-1821 M
25. Sultan Ahmadul Mansur Sirajuddin Syah, mulai 1821-1856 M
26. Sultan Ahmad Syaifuddin Alting, mulai 1856-1892 M
27. Sultan Ahmad Fatahuddin Nur Syah Kaicil Jauhar alam, mulai 1892-1894 M
28. Sultan Ahmad Kawiyuddin Alting, mulai 1894-1906 M
29. Sultan Zainal Abidin Sjah, mulai 1947-1967 M
30. Sultan Hi. Jafar Syah, Mulai 1999-Sekarang.
Berdasarkan penjelasan diatas, disebutkan bahwa Agama Islam di wilayah Kesultanan Tidore setelah Sultan ke sembilan memimpin. Namun, menurut Irham Rosyidi pendapat ini masih dapat diperdebat. Jika penjelasan diatas benar, mengapa raja/Kolano pertama Kesultanan Tidore bernama Syahjati alias Muhammad Nakel, bukankah nama tersebut mengindikasi pengaruh agama Islam?.  Berpijak pada nama tersebut maka bakap Irham Rosyidi berpendapat bahwa agama Islam masuk wilayah Kesultanan Tidore diduga kuat sejak raja/Kolano pertama pada tahun 1108 M.
Sejak tahun 1906 sampai 1946 (selama 40 tahun) Kesultanan Tidore tidak mempunyai Sultan. Kekosongan pemerintah Kesultanan Tidore disebabkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak senang jika Kesultanan Tidore aktif . Sultan Tidore dan para kerabatnya dikenal Belanda sebagai suatu pemerintah yang sulit dikendalikan dan tidak senang diajak bekerja sama. Sikap konsisten yang anti terhadap kolonial Belanda tersebut membuat pemerintah Republik Indonesia memberi gelaran pahlawan nasional kepada Sultan ke-22, iaiu Sultan Syaedul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakati alias Nuku, yang memerintah 1797-1805 M.
Pada tanggal 14 Desember 1946 pemerintah Kesultanan Tidore diaktifkan kembali dengan dilantiknya Zainal Abidin Syah sebagai Sultan Tidore ke-29. Sultan Zainal Abidin Syah dilantik di Denpasar Bali pada tanggal 14 Desember 1946, selanjutnya disusul dengan penobatan secara adat Kerajaan Tidore pada tanggal 27 Pebruari 1947 di Limau Timore, Soasio.
(Dikutip dari buku karangan Irham Rosyidi, S.H., M.H. dengan judul “Eksplorasi Nilai, Asas, dan Konsep dalam Dinamika Ketatanegaraan Kesultanan Tidore”. Halaman 177-179).

KESULTANAN TERNATE(1257-1919-KINI)

 Bendera Kesultanan Ternate
 [Ternate]

 KRONOLOGI;

1257                       Negeri Ternate di tubuhkan.
1380                       pemerintah Ternate dilantik sebagai Kolano Maloko
                           menguasai kesultanan Jailolo.
1522 - 26 Dec 1575         Portuguese protectorate.
28 Mar 1606 - May 1607     Spanish protectorate.
12 Oct 1676                Dutch protectorate.
25 Oct 1876 -  4 Oct 1879  di kuasai oleh Belanda.




Sejarah Kesultanan Ternate


Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kesultanan Cirebon (1445 - 1677)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Ngara Lamo, gerbang Istana Sultan Ternate pada tahun 1930-an
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan pada  separuh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan ketenteraannya. Di masa kejayaan kekuasaannya membentang mencakupi wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.

 Asal Usul

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga imigran dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan popularnya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bahagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Organisasi kerajaan

Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadaptasikan secara keseluruhannya oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam dilakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelaran Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang belakang kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.

 Moloku Kie Raha

Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan perluasan empayar. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga membibitkan titik terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarutan, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk perlembagaan kerajaan di Maluku. Oleh kerana pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).

Kedatangan Islam

Tak ada sumber yang jelas mengenai teori awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate rasmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara keseluruhannya, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalamkan ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan perang saudara

Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islamik, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuatkan pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropah pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat muda. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justreu dikhianati dan dibunuh Portugal. Gabernor Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil memujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristian dan vassal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).

Pengusiran Portugal

Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Melaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan  kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Melaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara licik Gabernor Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibahagian timur, dari Filipina (Selatan) dibahagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibahagian selatan. Sultan Baabullah dijoloki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara terperinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah tunjang utama yang membendung kolonialisme barat.

Kedatangan Belanda

Sepeninggalan Sultan Baabullah Ternate mulai lemah, Sepanyol yang telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencuba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Sepanyol memperkuatkan kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Sepanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Sepanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya berjaya menahan Sepanyol namun dengan timbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai timbalan bantuan Belanda melawan Sepanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangunkan benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sihat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate

Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan berleluasanya mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat dan pemerintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung mengikut telunjuk menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
  • Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengawal harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan di hukum mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Junn 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
  • Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini di dorong sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemahuan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
  • Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa geram dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksima karena daerah – daerah strategik yang boleh diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa di singkir ke Jailolo. Tanggal 7 Julai 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas kerana selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak perajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka dihancurkan. Akan tetapi kerana keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh kerananya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dipecat dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat kosong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapuskan kesultanan Ternate namun niat itu tidak dilaksanakan kerana khuatir akan reaksi keras yang boleh menyebabkan pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.

Warisan Ternate

Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakupi agama, adat istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peranan yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bahagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang bererti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh kerananya almarhum Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal nescaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristian seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat darjat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di muzium Lisbon – Portugal.

PDF
Berikut adalah daftar Raja-Raja yang memerintah Ternate sejak terbentuknya Moloku Kie Raha.

NONAMA SULTANPERIODE
1.
CICO (1257 - 1277)
2.
POIT (1277 - 1284)
3.
SIALE (1284 - 1298)
4.
KALABATA (1298 - 1304)
5.
KOMALO (1304 - 1317)
6.
PATSARANGA (1317 - 1322)
7.
SIDANG ARIF (1322 - 1331)
8.
PAJI MA LAMO (1331 - 1332)
9.
SYAH ALAM (1332 - 1343)
10.
TOLU MA LAMO (1343 - 1347)
11.
BOHEYAT (1347 - 1350)
12.
NGOLO MA CAYA (1350 - 1357)
13.
MOMOLE (1357 - 1359)
14.
GAPI MA LAMO (1359 - 1372)
15.
GAPI BAGUNA I (1372 - 1377)
16.
KOMALO PULU (1377 - 1432)
17.
GAPI BAGUNA II (1432 - 1465)
18.
MARHUM (1465 - 1486)
19.
ZAINAL ABIDIN (1486-1500)
20.
BAYAN SIRULLAH (1500 - 1521)
21.
BOHEYAT (1522 - 1529)
22.
DAYAL (1529 - 1533)
23.
TABARIJI (1533 - 1535)
24.
HAIRUN JAMILU (1535 - 1570)
25.
BAAB ULLAH (1570 - 1583)
26.
SAIDI BARKAT (1584 - 1606)
27.
MUDAFFAR (1606 - 1627)
28.
HAMZA (1627 - 1648)
29.
MANDAR SJAH KAICIL (1648 - 1675)
30.
SIBORI AMSTERDAM (1675 - 1690)
31.
SAID FATUDDIN TOLOKO (1692 - 1714)
32.
SAFIUDDIN KAICIL RAJA LAUT (1751 - 1752)
33.
OUTHOORN AYAN SJAH (1752 - 1754)
34.
SYAH MARDAN (1755 - 1764)
35.
JALALUDDIN KAICIL ZWAARDEKROON (1765 - 1774)
36.
ARUN SJAH (1774 - 1781)
37.
AHARAL (1781 - 1796)
38.
SARKAN (1796 - 1801)
39.
MUHAMMAD JASIN (1801 - 1807)
40.
MUHAMMAD ALI (1807 - 1821)
41.
SARMOLE VAN DER PARRA (1821 - 1823)
42.
MUHAMMAD ZAIN (1823 - 1859)
43.
MUHAMMAD ARSAD (1861 - 1876)
44.
AYANHAR (1879 - 1900)
45.
MUHAMMAD ILHAM (1902)
46.
MUHAMMAD USMAN SJAH (1904 - 1914)
47.
ISKANDAR MUHAMMAD DJABIR SJAH (1929 - 1975)
48.
MUDAFFAR SJAH (1975 - SEKARANG) 

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...