Tuesday, January 15, 2013

KESULTANAN BACAN(1322-1889-KINI)

Bendera Kesultanan Bacan
[Bacan]

KRONOLOGI;

1322                       Kesultanan Bacan Di tubuhkan
 
Sultans (memakai gelaran Kolano Madehe)

1)1660 - 1706                Sultan Alauddin II

2)1706 -  2 Jan 1715         Sultan Musa Malikuddin


3)1715 - 17 Feb 1732         Sultan Kie Nasiruddin


4)1732 - 1741
               Sultan Hamza Tarafan Nur

5)1741 - 1780                Sultan Muhammad Sahadin

6)1780 - 1788                Sultan Skander Alam

7)1788 - 1787
               Sultan Muhammad Badaruddin

8)1797 - 1826                Sultan Kamarullah 

9)1826 - 19 Jul 1861         Sultan Muhammad Hayatuddin 
        (b. 1795 - d. 
1861)
                             Kornabei Syah Putera                      
10)14 May 1862 - 27 Feb 1889  Sultan Muhammad Sadik Syah         (d. 1889) 

11)1889 - 1899                Regency council (three members)

12)28 Aug 1899 - 24 Apr 1935  Sultan Muhammad Usman Syah

13)1935 - 1956                Sultan Muhammad Muhsin Syah        (d. 1983) 


14)2001 - 21 Sep 2009         Sultan Gahral Aydan Syah           (b. 1943 - d. 

2009)

15)2009 -                     Sultan Al-Abd-Al-Rahim Gary ibn
   (b. 1969)
                              Gahral (Gary Ridwan Syah)

 

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BACAN

 

Sejarah Kabupaten Halmahera Selatan berawal dari sejarah tentang  “Jazirat al-Mulk”iaitu nama kepulauan di ufuk timur bahagian utara dari kepulauan Indonesia. Istilah“Jazirat al-Mulk” yang diberikan para saudagar Arab ini mempunyai arti: negeri raja-raja. Selain itu, dikenal juga, istilah“Jazirah tuil Jabal Mulku“ dengan Pulau Halmahera sebagai pulau induk dari di kawasan ini.
Dari kata Muluk dan Mulku inilah yang kemudian menjadi Moluco menurut ucapan dan ortografi orang Portugis, Moluken menurut orang Belanda dan terakhir orang Indonesia sendiri disebut Maluku.
Catatan sejarah tentang “Jazirah tuil Jabal Mulku“ berlanjut dengan kemunculan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku) yang terdiri atas:

1. Kesultanan Bacan
2. Kesultanan Jailolo
3. Kesultanan Tidore
4. Kesultanan Ternate

Bacan,erti harfiahnya adalah:(mem-) baca.  Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.

Sultan Ternate iaitu Sultan Musaffar Syah menyatakan bahwa makna dari“ bacan” atau “membaca” adalah memasukkan sesuatu, atau usaha sedar yang dilakukan seseorang untuk memasukkan sesuatu ke dalam otaknya untuk menjadi pengetahuan. Makna tersebut tidak bisa dilepaskan juga dengan tugas dan fungsi Sultan
Bacan dalam Kesultanan Moloku Kie Raha yaitu: memasok logistik. Bacan dalam beberapa manuskrip sejarah sering juga ditulis sebagai Bachian, Bachanatau Batjan; dan diduga sudah wujud sejak tahun 1322. Kesultanan Bacan berpusat di Pulau Bacan. Wilayah Kesultanan Bacan pada saat jayanya cukup luas, iaitu dari Maluku hingga ke wilayah Papua.Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain berada di bawah administrasi pemerintahan Kesultanan Bacan pada masa jayanya.
Pengaruh bangsa Eropah pertama di Pulau Bacan diawali oleh Portugis yang kemudian membangunkan benteng pada tahun1 558. Bernevald Fort adalah benteng Portugis yang masih utuh berdiri di Pulau Bacan sampai sekarang. Pada tahun 1609 benteng ini diambil alih oleh VOC
yang menandai awal penguasaan Hindia Belanda di Pulau Bacan. Pada tahun 1889 sistem  monarki Kesultanan Bacan digantikan  dengan sistem kepemerintahan di bawah kontrol Hindia Belanda.
Pulau Bacan tidak hanya mempunyai peranan dalam pengeluaran cengkeh dan pala pada masa itu, akan tetapi juga menjadi pusat kontrol atas pengeluaran dan penghasilan cengkeh dan  paladi Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Halmahera.                              

KERAJAAN TANAH HITU(1470-1682)










 

 

 

Sejarah Kerajaan Tanah Hitu

Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.



Sejarah

Hubungan dengan kerajaan lain
Kerajaan ini memiliki hubungan erat dengan barbagai kerajaan Islam di Pulau Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan Banten, Sunan Giri di Jawa Timur dan Kesultanan Gowa di Makassar seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu pula hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk; semenanjung raja-raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.
Empat Perdana Hitu
Etimologi
Kata Perdana adalah asal kata dari bahasa Sanskerta artinya Pertama. Empat Perdana adalah empat kelompok yang pertama datang di Tanah Hitu, pemimpin dari Empat kelompok dalam bahasa Hitu disebut Hitu Upu Hata atau Empat Perdana Tanah Hitu.
Awal mula kedatangan
Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn.
Orang Alifuru
Orang Alifuru adalah sebutan untuk sub Ras Melanesia yang pertama mendiami Pulau Seram dan menyebar ke Pulau-Pulau lain di Maluku, adapun Alifuru berasal dari kata Alif dan kata Uru, Kata Alif adalah Abjad Arab yang pertama sedangkan kata Uru’ berasal dari Bahasa Tana yang artinya Orang maka Alifuru artinya Orang Pertama.
Periode kedatangan Empat Perdana Hitu
Kedatangan Empat Perdana itu ke Tanah Hitu secara periodik :
  1. Pendatang Pertama adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat) kemudian ke Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tahun kedatangannya tidak tertulis.
    Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
  2. Pendatang Kedua adalah Kiyai Daud dan Kiyai Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri dengan saudara Perempuannya bernama Nyai Mas.
    • Menurut silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak dari :
      Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
      Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
      Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
    • Disana mereka temukan Keramat atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu karang. Tempat itu bernama Hatu Kursi atau Batu Kadera (Kira-Kira 1 Km dari Negeri Hitu). Peristiwa kedatangan beliau tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan cerita turun – temurun.
    • Perdana Tanah Hitu Tiba di Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a) pada tahun 1440 pada malam hari, dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete artinya hitam gelap gulita sesuai warna alam pada malam hari.
    • Mereka tinggal disuatu tempat yang diberi nama sama dengan asal Ibu mereka yaitu Tuban / Ama Tupan (Negeri Tuban) yakni Dusun Ama Tupan/Aman Tupan sekarang kira-kira lima ratus meter di belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya di Pesisir Pantai yang bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti.
    • Perdana Pattikawa disebut juga Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya orang yang pertama mendirikan negerinya di Pesisir pantai, nama negeri tersebut menjadi nama soa atau Ruma Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu.
  3. Kemudian datang lagi Jamilu dari Kerajaan Jailolo . Tiba di Tanah Hitu pada Tahun 1465 pada waktu magrib dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau warna merah (warna bunga) sesuai dengan corak warna langit waktu magrib. Mendirikan negerinya bernama Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama marganya yaitu Lating. Jamilu disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi, Nustapi artinya Pendamai, karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah Hitu dengan Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau, dia juga digelari Kapitan Hitu I.
  4. Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Salat) sore hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada waktu Ashar (waktu salat).
    Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistem pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
Penggabungan Empat Perdana Hitu
Oleh karena banyaknya pedagang-pegadang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu dan Tiongkok berdagang mencari rempah-rempah di Tanah Hitu dan banyaknya pendatang – pendatang dari Ternate, Jalilolo, Obi, Makian dan Seram ingin berdomisili di Tanah Hitu, maka atas gagasan Perdana Tanah Hitu, ke Empat Perdana itu bergabung untuk membentuk suatu organisasi politik yang kuat yaitu satu Kerajaan.
Kemudian Empat Perdana itu mendirikan negeri yang letaknya kira-kira satu kilo meter dari Negeri Hitu (sekarang menjadi dusun Ama Hitu/Aman Hitu) disitulah awal berdirinya Negeri Hitu yang menjadi Pusat kegiatan kerajaan Tanah Hitu, bekasnya sampai sekarang adalah Pondasi Mesjid. Mesjid tersebut adalah mesjid pertama di Tanah Hitu, mesjid itu bernama Masjid Pangkat Tujuh karena struktur pondasinya tujuh lapis. Setelah itu Empat Perdana mengadakan pertemuan yang di sebut TATALO GURU (red: duduk guru)artinya kedudukan adat atas petunjuk UPUHATALA (ALLAH TA’ALA-- metafor bahasa dari dewa agama Kakehang yaitu agama pribumi bangsa seram), mereka bermusyawara untuk mengangkat pemimpin mereka, maka dipililah salah seorang anak muda yang cerdas dari keturunan Empat Perdana yaitu anak dari Pattituri adik kandung Perdana Pattikawa atau Perdana Tanah Hitu yang bernama Zainal Abidin dengan Pangkatnya Abubakar Na Sidiq sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama yang bergelar Upu Latu Sitania pada tahun 1470.
Latu Sitania terdiri dari dua kata yaitu Latu dan Sitania,dalam bahasa Hitu Kuno Latu artinya Raja dan Sitania adalah pembendaharaan dari kata Ile Isainyia artinya dia sendiri, maka Latu Sitania artinya Dia sendiri seorang Raja di Tanah Hitu, dalam bahasa Indonesia modern artinya Raja Penguasa Tunggal, sedangkan pada versi dari Hikayat Tanah Hitu karya Imam Ridzali: latu berarti raja dan Sitania ( tanya,ite panyia) berarti tempat mencari faedah baik dan buruk berraja.
Tujuh Negeri di Tanah Hitu
Sesudah terbentuk Negeri Hitu sebagai pusat Kerajaan Tanah Hitu kemudian datang lagi tiga clan Alifuru untuk bergabung, diantarannya Tomu, Hunut dan Masapal. Negeri Hitu yang mulanya hanya merupakan gabungan empat negeri, kini menjadi gabungan dari tujuh negeri. Ketujuh negeri ini terhimpun dalam satu tatanan adat atau satu Uli (Persekutuan) yang disebut Uli Halawan (Persekutuan Emas), dimana Uli Halawan merupakan tingkatan Uli yang paling tinggi dari keenam Uli Hitu (Persekutuan Hitu). Pemimpin Ketujuh negeri dalam Uli Halawan disebut Tujuh Panggawa atau Upu Yitu. (sebutan kehormatan).
Gabungan Tujuh Negeri menjadi Negeri Hitu diantaranya :
  1. Negeri Soupele
  2. Negeri Wapaliti
  3. Negeri Laten
  4. Negeri Olong
  5. Negeri Tomu
  6. Negeri Hunut
  7. Negeri Masapal
Sastra bertutur
Kapatah Tanah Hitu dari Uli Halawan dalam bahasa Hitu : Upu Lihalawan-e Sopo Himi - o Hitu Upu-a Hata Tomu-a Upu-a Telu Nusa Hu’ul Amana Lima Laina Malono Lima Pattiluhu Mata Ena Artinya Tuan Emas Yang di Junjung (Raja Tanah Hitu) Hitu Empat Perdana Tomu Tiga Tuan (Tiga Pemimpin Ken Tomu) Kampung Alifuru Lima Negeri Lima Keluarga dari Hoamual (Waliulu, Wail, Ruhunussa, Nunlehu, Totowalat)

Lane atau Kapatah (Sastra bertutur) dari klen Hunut dalam bahasa Hitu yang masih hidup sampai sekarang yang menyatakan dibawah perintah Latu Hitu (Raja Hitu):
“yami he’i lete, hei lete hunut – o
“yami he’i lete, hei lete hunut – o
aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o
aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o
yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o
yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o
waai-ya na silawa lete huni mua-o
waai-ya na silawa lete huni mua-o
suli na silai salane kutika-o
suli na silai salane kutika-o
awal le e jadi lete elia paunusa-o”
awal le e jadi lete elia paunusa-o”
Artinya :
Kami dari Hunut, Kami dari HunutKami dari Hunut, Kami dari HunutNegeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong,Negeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong, Kami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah HituKami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah HituOrang Waai sudah Lari Pergi Ke HunimuaOrang Waai sudah Lari Pergi Ke Hunimua Orang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabungOrang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabungKejadian ini terjadi pertama di gunung Elia PaunussaKejadian ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa
Pada pemerintahan Raja Mateuna’ Negeri Hitu sebagai pusat kegiatan Kerjaan Tanah Hitu di Pindahkan ke Pesisir Pantai pada awal abad XV masehi kini Negeri Hitu sekarang, Raja Mateuna’ adalah Raja Kerajaan Tanah Hitu yang ke lima dan juga merupakan raja yang terakhir pada pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu yang pertama sekarang menjadi dusun Ama Hitu letaknya kira-kira satu kilo meter dari negeri Hitu sekarang, beliau meninggal dunia pada 29 Juni 1634. Pada masa Raja Mateuna’ terjadi kontak pertama antara Portugis dengan Kerajaan Tanah Hitu, perlawanan fisik pada Perang Hitu- I Pada tahun 1520-1605 di pimpin oleh Tubanbessy-I, yaitu Kapitan Sepamole, dan akhirnya Portugis angkat kaki dari Tanah Hitu dan kemudian mendirikan Benteng Kota Laha di Teluk Ambon (Jazirah Lei timur) pada tahun 1575 dan mulai mengkristenkan Jazirah Lei Timur. Raja Mateuna meninggalkan dua Putra yaitu Silimual dan Hunilamu, sedangkan istrinya berasal dari Halong dan Ibunya berasal dari Negeri Soya Jazirah Leitimur (Hitu Selatan), beliau digantikan oleh Putranya yang ke dua yaitu Hunilamu menjadi Latu Sitania yang ke Enam (1637–1682). Sedangkan Putranya pertamanya Silimual ke Kerajaan Houamual (Seram Barat) berdomisili disana dan menjadi Kapitan Huamual, memimpin Perang melawan Belanda pada tahun 1625-1656 dikenal dengan Perang Hoamual dan seluruh keturunannya berdomisili disana sampai sekarang menjadi orang asli Negeri Luhu (Seram Barat) bermarga Silehu. Sesudah perginya Portugis Belanda makin mengembangkan pengaruhnya dan mendirikan Benteng pertahanan di Tanah Hitu bagian barat di pesisir pantai kaki gunung wawane, maka Raja Hunilamu memerintahkan ketiga Perdananya mendirikan negeri baru untuk berdampingan dengan Belanda (Benteng Amsterdam), agar bisa membendung pengaruh Belanda di Tanah Hitu, Negeri itu dalam bahasa Hitu bernama Hitu Helo artinya Hitu Baru, karena makin berkembangnya pangaruh dialek bahasa, akhirnya kata Helo menjadi Hila yaitu Negeri Hila sekarang dan negeri asal mereka Negeri Hitu berganti nama menjadi Negeri Hitu yang Lama. Belanda tiba di Tanah Hitu pada tahun 1599 dan kemudian mendirikan kongsi dagang bernama V.O.C pada tahun 1602 sejak itulah terjadi perlawanan antara Belanda dengan Kerjaan Tanah Hitu, karena mendirikan monopoli dagang tersebut, puncaknya terjadi Perang Hitu – II atau Perang Wawane yang dipimpin oleh Kapitan Pattiwane anaknya Perdana Jamilu dan Tubanbesi-2, yaitu Kapitan Tahalele tahun 1634 -1643 dan Kemudian perlawanan Terakhir yaitu perang Kapahaha 1643 - 1646 yang dipimpin oleh Kapitan Talukabesi (Muhammad Uwen) dan Imam Ridjali setelah Kapitan Tahalele menghilang, berakhirnya Perang Kapahaha ini Belanda dapat menguasi Jazirah Lei Hitu. Belanda melakukan perubahan besar-besaran dalam struktur pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu yaitu mengangkat Orang Kaya menjadi raja dari setiap Uli sebagai raja tandingan dari Kerajaan Tanah Hitu. Hitu yang lama sebagai pusat kegiatan pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu di bagi menjadi dua administrasi yaitu Hitulama dengan Hitumessing dengan politik pecah belah inilah (devidet et impera) Belanda benar-benar menghancurkan pemerintah Kerajaan Tanah Hitu sampai akar-akarnya.
Negeri – Negeri di Jazirah Lei Hitu yang tidak termasuk di dalam Uli Hitu berarti negeri-negeri tersebut adalah negeri – negeri baru atau negeri-negeri yang belum ada pada zaman kekuasaan Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682).Ketujuh Uli diantaranya :
1. Uli Halawang terdiri dari dua negeri yaitu:
  • Negeri Hitu
  • Negeri Hila
Central Ulinya di Negeri Hitu
2. Uli Solemata (Wakane) terdiri dari tiga negeri yaitu:
  • Negeri Tial
  • Negeri Molowael(Tengah-Tengah)
  • Negeri Tulehu
Central Ulinya di Negeri Tulehu
3.Uli Sailesi terdiri dari empat negeri yaitu:
  • Negeri Mamala
  • Negeri Morela
  • Negeri Liang
  • Negeri Wai
Central Ulinya di Negeri Mamala
4.Uli Hatu Nuku terdiri dari satu negeri yaitu :
  • Negeri Kaitetu
Central Ulinya di Kaitetu
5.Uli Lisawane terdiri dari satu negeri yaitu :
  • Negeri Wakal
Central Ulinya di Wakal
6.Uli Yala terdiri dari tiga negeri yaitu :
  • Negeri Seith
  • Negeri Ureng
  • Negeri Allang
Central Ulinya di Seith
7.Uli Lau Hena Helu terdiri dari satu negeri yaitu :
  • Negeri Lima
Central Ulinya di Negeri Lima

Sumber artikel: http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tanah_Hitu

KESULTANAN JAILOLO(1380-KINI)

Bendera Kesultanan Jailolo
[Jailolo]
Kronologi

1380                       pemerintah Jailolo di kenali Jikoma Kolano,di kuasai 
                           oleh  pengaruh Kesultanan Ternate
 
1557 - 1796                di bawah kuasa Kesultanan Ternate 
 
1803 - ....                vassal Kesultanan Ternate

1832                       d bawah penagaruh Belanda


1875 - 1876                di hapuskan oleh Belanda sepenuhnya


2002                       Kesultanan di hidupkan semula



Rulers ( Jikoma Kolano)
1605 - 1613                Doa

1613 - 1656                Saiuddin


1656 - 1684                Alam

1684 - 17..                .... (unknown)                     (d. 1715)


Sultans ( Jikoma Kolano)

1784 - 1805                Muhammad Arif Bila 


1805 - 1808                Vacant

 
1808 - 1832                Muhammad Asgar  

                   (d. 1839)
1832                       Saifuddin Jehad Muhammad
Hajuddin  (d. 1846)

                             Syah                            
1875 - 1876                Danu Hasan                         (b. 1832 -  

  21 Nov 2010     Abdullah Syah                     

Sejarah Kesultanan Jailolo


Suatu hal yang jarang dilakukan oleh para pemerhati sejarah dan budaya “Moloku Kie Raha” (Maluku Utara) adalah membahas tentang Kesultanan Jailolo di pulau Halmahera yang telah lama kosong. Hal ini disebabkan minimanya sumber dan rujukan yang menunjang pembahasan tentang hal itu. Dalam penulisan sejarah oleh bangsa Eropah, Jailolo sering ditulis “Gilolo” yang menurut sebahagian besar sumber barat dianggap sebagai kerajaan tertua di kawasan Maluku bahagian utara, (kerajaan pertama dan tertua di jazirah maluku).


penobatan-abdullah-syah-sebagai-sultan-jailolo2


Menelusuri dan membahas jejak sejarah kesultanan Jailolo, menjadi lebih menarik akhir-akhir ini, setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi Sultan Jailolo yang dilakukan di dalam keraton kesultanan Ternate atas perkenan Sri Sultan Ternate ; H. Mudafar Syah II pada beberapa tahun yang lalu. Yang lebih menarik lagi dari itu adalah menelusuri keturunan dan sisilah para raja Jailolo itu sendiri.
Sekadar info, bahawa beberapa peneliti sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti ; Donald P. Tick gRMK (di Belanda), Christoper Buyers dan Hans Hagerdal hingga saat ini pun belum dapat membuat satu tulisan atau buku yang membahas tentang jejak sejarah dan sisilah raja-raja Jailolo secara utuh dan detail. masalah utama yang dihadapi adalah keterbatasan sumber dan rujukan utama dalam mencari bukti2 kembali fakta sejarah perjalanan kesultanan Jailolo. pada masa ini, baru terdapat ahli sejarah ternama dari Universiti Indonesia Prof. DR. Richard Z. Leiriza yang sudah pernah membuat beberapa karya tulisan tentang sejarah Raja Jailolo dalam meraih gelar Ph.D tahun 1990 dengan Dissertasi berjudul “Raja Jailolo dan Halmahera Timur: Pergolakan di Laut Seram di awal abad ke-19” (The King of Jailolo and Eastern Halmahera: Social upheavals in the Seram Sea during the early 19th century). Kemudian dipublikasikan oleh Balai Pustaka, tahun 1994.

juru-tulis-lamo's-paper

Buku ini membahaskan  secara detail tentang sepak terajang raja Jailolo yang berkuasa di Halmahera timur dan pulau Seram di Maluku Tengah. (yang menurut periodesasi versi saya adalah periode Kesultanan Jailolo Tahap II dan III saja). Kerana yang dibahas oleh beliau adalah “hanya” kejadian atau tempoh antara tahun 1811 hingga 1832 saja yang menjadi kekuatan penulisannya. Sedangkan kronologi perjalanan sejarah kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya “Kolano Daradjati” hingga saat ini, belum ada satupun ahli sejarah yang mengungkapkan “the hidden history” tersebut. Namun demikian, karya besar Prof. DR. Richard Z. Leiriza tersebut merupakan sebuah hasil kajian yang spektakuler yang belum pernah ditulis oleh siapapun tentang kronologi secara detail pada periode tersebut.

Salah satu buku yang juga cukup banyak menguraikan tentang sejarah Sultan Jailolo Tahap II (Muhammad Arif Bila) seorang Sangadji Tahane yang diangkat oleh NUKU dari Tidore untuk melengkapi keempat pilar MOLOKU KIE RAHA adalah karya besar ELVIANUS KATOPPO yang berjudul ; “NUKU, Sultan Saidul Jehad Muhammad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan alisa Jou BarakatiSULTAN TIDORE – (Riwayat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Maluku Utara tahun 1780 – 1805)“.
Memang sumber dan referensi sejarah tentang kesultanan Jailolo sangat minima sekali. Namun demikian dari ratusan ribu penduduk Maluku Utara yang hidup saat ini, ternyata masih ada beberapa komuniti yang masih menyimpan dokumen salinan sisilah keturunan raja-raja Jailolo, yang ditulis pada selembar “old manuscript”.  Daftar sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bahagian. Lembaran besar adalah huraian daftar sisilah yang skemanya diuraikan seperti “pohon terbalik” yang seluruh tulisan nama-namanya beraksara Arab, satu lembaran lagi adalah salinan ulang yang juga dalam aksara Arab namun lebih diperinci dan diperjelaskan dengan melingkari tiap-tiap nama yang tertera kerana lembarann aslinya sudah hampir lapuk, sedangkan satu lagi lembaran kecil bertuliskan huruf arab dan yang berlafadz-kan bahasa Tidore adalah Surat Keterangan yang manjelaskan tentang daftar sisilah tersebut.


original-map-of-mine-since-18562

Ketiga lembaran bersejarah ini ditulis dalam aksara Arab dengan tulisan tangan bertanggal 4 Rabbiul awal 1277 H, yang di kira berdasarkan kalender Masehi adalah bertepatan dengan hari Rabu tanggal 19 September 1860 yang ditulis tangan oleh Sekretaris Besar Kesultanan Tidore yang biasa disebut “Jurutulis Lamo” yang waktu itu dijabat oleh Hasan ud-din. Keterangan ini dilengkapi dan disahkan dengan bubuhan “tanda cap asli” kesultanan Tidore (bakar tempel – bukan tinta). Original paper-nya, saat ini ada di tangan salah satu warga kota Ternate yang masih keturunan ke-13 yang diberikan oleh komuniti keturunan SULTAN DOA yang beranak pinak di Soa Sambelo kota Tidore.  Semula, selama hampir seratus tahun lebih daftar sisilah keturunan ini bersemayam di Fola Lamo di Soa Sambelo, namun akhirnya dihantarkan ke sumber informasi ini, yang seraya meminta dirahasiakan identitinya. , juga masih terdapat pada mereka (keturunan Sultan Doa) yang tersebar di beberapa tempat di pulau Tidore (; Soasio-Sambelo, Toloa dan Mareku).
Sebelum Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana yakni di Tidore (Soa Sambelo, Mareku dan Toloa), pulau Ternate (Dufa-Dufa), pulau Moti, pulau Makian dan di pulau Ambon sesuai alur dalam daftar sisilah tersebut, mereka seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya. Bagi mereka itu semua adalah sebahagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka fikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam fikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi “simbol” kesultanan Jailolo moden, membuatkan ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingatkan hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi vassal kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman (Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo di Limau Tagalaya – Jailolo.


translate-to-latin-letter

Kembali pada pembahasan semula…,  Dokumen tentang sisilah raja-raja Jailolo ini dalam historiografi tentang kesejarahan Jailolo adalah sebuah dokumen lama yang sangat diperlukan dalam untuk dijadikan salah satu referensi (sumber otentik) dalam studi kajian tentang hal ini. Hampir semua sumber-sumber tentang sejarah yang berghubungan dengan Jailolo yang ada di Leiden Museum Belanda, Museum Swedia, Museum di Inggeris, dan dokumen Oxford University dan dokumen digital milik Smithsonian Institute USA, tidak pernah diketemukan dokumen seperti ini.
Sebagai pemerhati budaya, tradisi dan sejarah Maluku Utara, saya sangat berminat untuk studi kajian tentang hal ini. Upaya untuk merekontruksi kembali fakta sejarah tentang perjalanan sejarah kesultanan Jailolo terus saya lakukan dengan menghimpun berbagai sumber tertulis baik di dalam negeri maupun sumber asing. Aspek subjektifitas yang mungkin masih ada pada masing-masing penulis sejarah termasuk pada saat ini saya dalam menyajikan artikel ini ke blog, diupayakan untuk diminimalisir sebisa mungkin, agar mencapai sebuah hasil kajian historiografi yang lebih objektif.
Beberapa saat yang lalu saya sering melakukan kontak dan sharing dengan dua orang peneliti sejarah kerajaan2 di Indonesia seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu : Donal P. Tick gRMK dan Christoper Buyers termasuk Hans Hagerdal (silakan searching nama-nama ini di Google Search) sehubungan dengan kajian tentang sejarah kesultanan Jailolo ini. Mereka banyak menulis tentang seputar kerajaan di Indonesia termasuk kerajaan Jailolo. Para ahli sejarah ini tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang sisilah raja-raja Jailolo yang saya kemukakan ini, termasuk keinginan mereka untuk meneliti berasal dari mana sisilah Sultan Abdullah Syah. Abdullah Syah diyakini adalah salah satu dari keturunan dari Prins Gugu Alam turun hingga ke Muhammad Asgar dan Hay ud-din yang dibuang oleh Belanda ke Cianjur  pada tahun 1832. Untuk kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, baru kesultanan Ternate yang sudah dipublikasikan melalui website Royal Ark dalam titel “Ternate, Brief History ”, sedangkan untuk kasultanan Tidore, Jailolo dan Bacan belum ada data lengkap untuk dipublikasikan.
Setelah sekian banyak komunikasi & sharing dengan kedua peneliti sejarah ini, saya mencocokan data ahli sejarah tersebut di atas dengan salinan “old manuscript” tersebut (lihat gambar), maka terdapat banyak kesamaan.
Dengan demikian menurut saya, untuk sementara disimpulkan bahwa; Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan.

view-jailolo-dari-pantai-dufa-dufa-ternate

Menurut sumber ini, Muhamad Arif Bila memiliki 4 orang putera. Ayah dari Muhamad Arif Bila yakni Syah Yusuf (lain dengan Sultan Yusuf yang ayahnya Sultan Doa, beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian di desa Tahane. Muhammad Arif Bila sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis kesultanan Jailolo) beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane. Setelah itu selama sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan Tidore pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari Tidore (1784-1797) yang tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku baru menjadi Sultan di Tidore Muhammad Arif Bila adalah seorang panglima yang handal.
Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.

view-jailolo-dari-bandara-babullah-ternate1

Wilayah kesultanan Jailolo sudah dilebur menjadi wilayah Ternate sejak tahun 1635, sedangkan pada masa kekuasaan Sultan Nuku, bekas wilayah kesultanan Jailolo masuk dalam kekuasaan kesultanan Tidore. Muhammad Arif Bila wafat di daerah Weda pada tahun 1807 karena kecelakaan.
Putera tertuanya Muhammad Asgar diangkat oleh pengikutnya di Halmahera timur menjadi Sultan Jailolo II, pada periode ke-2 ini. Kronologis sejarah kesultanan Jailolo Periode I (pertama) berawal dari Kolano Daradjat dan berakhir pada masa Sultan Doa saja. (Keturunan Sultan Doa masih tercatat jelas dalam sisilah keturunan ini yang tersebar di Maluku Utara, diantaranya; pulau Tidore – paling banyak, pulau Moti, pulau Makian, pulau Ternate, dsb). Hal ini juga menjadi perhatian kedua peneliti tersebut untuk melakukan penelitiannya nanti di masa yang akan datang.
Pada tahun 1810 Muhamad Asgar ditangkap oleh penguasa Inggris karena Inggris yang sedang berkuasa saat itu tidak mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Kemudian pada tahun 1817 Muhammad Asgar diasingkan ke Semarang dan bermukim jauh dari keramaian kota Semarang yakni di sekitar antara daerah Semarang dan Jepara.

gunung-jailolo

Tahun 1825 setelah Belanda kembali berkuasa setelah Inggris, ia dikembalikan lagi ke Maluku Utara dan diangkat oleh penguasa Belanda seperti sebelumnya sebagai Sultan Jailolo dalam pengasingan namun berkedudukan di pulau Seram Maluku Tengah. Adik Muhammad Asgar yakni Kaicil Haji beserta pengikutnya menyusul ke pulau Seram dan akhirnya diangkat Belanda menjadi Sultan Jailolo III dengan nama kebesaran; Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-din Syah.
Karena perselisihan dengan pihak Belanda, akhirnya Sultan Jailolo III ini bersama dengan Jogugu Jamaluddin, Kapita laut Kamadian beserta seluruh keluarga berjumlah 60 orang diasingkan Belanda ke Batavia kemudian ke Cianjur. Beliau wafat pada tahun 1839 di Cianjur Jawa Barat. Akhirnya eksistensi kesultanan Jailolo Tahap III inipun berakhir. Dan Maloku Kie Raha tinggal hanya 3 kesultanan saja, yaitu Ternate, Tidore dan Bacan.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa menurut asumsi saya, kemungkinan dari keturunan inilah, penelusuran dilakukan oleh Sri Sultan Ternate saat ini untuk memilih Abdullah Syah bin Abdul Haryanto dan mengangkatnya menjadi Sultan Jailolo sekarang, adalah berasal dari keturunan di Cianjur ini. Untuk hal ini saya belum sempat melakukan wawancara dengan Sultan Ternate. Selain itu, penunjukan Sultan Jailolo ini juga dilakukan dengan ritual khusus oleh Sultan Mudafar Syah II dan memakan waktu yang cukup lama. (biasanya orang Ternate menyebut Sultan Jailolo dengan sebutanKOLANO JOU TIA”).

abdullah-syah-sultan-jailolo-sekarang

Hal ini tergambar dalam syair lagu yang berjudul “JOU TIA” hasil karya Sultan H. Mudaffar Syah yang dinyanyikan oleh “EL-ELVocal Group pada era tahun 1980-an.
Upaya untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo Tahap IV, pernah dilakukan oleh Dano Baba Hasan pada tahun 1876. Ia meminta pemerintah Belanda mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Menurut beberapa penulis, Dano Baba Hasan adalah kerabat keraton Ternate yang pada tahun 1832 diangkat oleh Sultan Ternate Muhammad Zain menjadi Salahakan (Utusan Sultan) di pulau Seram. Tanggal 21 Juni, Dano Baba Hasan mengakhiri usahanya dan menyerahkan diri kepada Residen Tobias, dan dideportasi ke Ternate dan akhirnya diasingkan ke Muntok di Sumatera. Merunut dari sisilah tersebut, Dano Baba Hasan adalah cucu dari Abdul Gani, saudara bungsu dari Muhamad Asgar dan Muhamad Hayuddin yang dibuang ke Cianjur tersebut.
Setelah periode untuk menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap IV gagal, Upaya untuk itu dimulai lagi yakni pada Periode Jailolo Tahap V dilakukan oleh Dano Jae ud-din di Weda dan Waigeo di Halmahera Timur pada tahun 1914. Seorang Dano dari Ambon yang masih keturunan Dano Baba Hasan mengklaim dirinya sebagai ahli waris, memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo pada periode Tahap V ini. Ia kemudian ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ternate hingga akhir hayatnya. Demikian berakhir pula usaha untuk menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap V juga gagal.
Perlu digaris-bawahi, bahwa semua upaya untuk menghidupkan kembali eksistensi kesultanan Jailolo dan berkuasanya para Sultan Jailolo pada periode II, III, IV dan V, sama sekali bukan berkedudukan di wilayah kesultanan Jailolo yang sebenarnya (Limau Tagalaya), melainkan di tempat pengasingan di luar wilayah kultur kesultanan Jailolo itu sendiri.
Upaya terakhir untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo Tahap VI, maka Sri Sultan Ternate H. Mudafar Syah II mengambil prakarsa untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo yang telah hilang selama ratusan tahun. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi budaya Maluku Utara sebagai symbol pemersatu bangsa dalam wadah NKRI dan juga dalam rangka untuk melengkapi empat pilar persekutuan kerajaan-kerajaan di “Maloku Kie Raha” yang hanya tinggal tiga, yakni; Ternate, Tidore dan Bacan. Dengan menunjuk Sdr. Abdullah Abdul Rahman Haryanto Syah, seorang mantan tentara yang menurut penelusuran beliau adalah keturunan Muhammad Asgar dan Kaicil Hadji yang dibuang oleh Belanda ke Cianjur Jawa barat.
Sebab semua masyarakat di Maluku Utara tahu kalau cuma ada tiga pilar/kesultanan saja, itu bukan berarti Maloku Kie Raha lagi, akan tetapi Maloku Kie Ra’ange. (Admin; Raha=empat, Ra’ange=tiga).
Demikian beberapa sharing saya melalui email dengan kedua penulis asing tersebut. Pada kesempatan terakhir via e-mail, Mr. Donal P. Tick gRMK, meminta kapada saya gambar/foto diri dari Dano Jae ud-din jikalau ada dokumen tentang itu. Tapi saya rasa sulit untuk mendapatkan gambar tentang Dano Jae ud-din yang mereka maksud. Beliau tertarik untuk meneliti pula tentang keturunan dari Dano Jae ud-din ini, kata Mr. Donal P. Tick gRMK menulis dalam e-mail nya :
Interesting about the descendant of Dano Baba Hasan with name Dano Jae ud-din, who was regarded as dynastychief / heir in 1914. Do you know more about him ? A picture of him would be fascinating. I also would like to know, if the present Sultan is taken very seriously. Some say he is only a creation of Sultan Ternate”. Thank you for all. If you want, you can add some info under the picture of Sultan Jailolo on my website at : http://kerajaan-indonesia.blogspot.com”.


Namun sayangnya, pada event SOUTH EAST ASIA ROYAL FESTIVAL di Bali pada tanggal 25-30 November 2008 yang lalu Mr. Donal P. Tick gRMK tidak sempat hadir karena ada mega proyek yang tidak boleh ditinggalkan di Belanda, sehingga rencana kami untuk bertemu muka juga tidak terlaksana. Hal ini sehubungan dengan minat kedua peneliti ini untuk mengungkap apa yang mereka sebut ”The Hidden History of Jailolo”.
Sources :

sumber;dari blog berbahasa indonesia

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...