Kerajaan Simpang dinamakan demikian
karena letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu
cabang di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri Sungai
Pagu di Lubuk Batu. Jadi nama SIMPANG itu karena letaknya dipersimpangan
dua sungai. Kerajaan Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan, hanya
setengah hari perjalanan mudik dari Simpang sampailah ke Matan.
Karena
hubungan emosional dan kedekatannya dengan Matan, maka Kerajaan Simpang
mencantumkan nama Matan sehingga dikenal dengan Kerajaan Simpang Matan.
Kerajaan
Simpang merupakan salah satu kerajaan yang terkenal di Nusantara sejak
zaman Majapahit. Dalam Negara Kertagama, Mpu Prapanca menyebut pembagian
Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk dalam Daerah III :
… Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas … Kadang mwang i Landak
Lenri Samedang (Simpang) … ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.
(Anshar Rahman:Tanjungpura Berjuang, 1970)
Kerajaan
di Kalimantan Barat yang termasuk dalam wilayah Majapahit adalah
Tanjungnegara (Tanjungpura, Kapuhas, Kandawangan, Landak, Simpang,
Melano).
Raja-Raja Simpang Matan:
a). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814
Sultan
Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan
Muhammad Jamaluddin yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke
Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.
Raja pertama Kerajaan Simpang Matan ini mempunyai empat orang anak, yaitu:
1. Gusti Mahmud, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat.2. Gusti Asfar, bergelar Pangeran Adipati. Dia kawin di Landak, melahirkan Gusti Arif yang menurunkan
keturunan Raja Landak. Kemudian dia kawin lagi di Tayan melahirkan Gusti Hasan yang menurunkan
keturunan Raja Tayan.
3. Gusti Jamiril, dan
4. Utin Upih.
Pada masa pemerintahannya, Belanda
sudah mulai masuk. Ajidan (William Adrian Palm?) wakil Belanda (VOC) di
Betawi datang ke Pontianak hendak meminjam tanah untuk mendirikan kantor
dagangnya. Melalui Syarif Abdurahman mengirim surat kepada Sultan
Simpang-Matan memberitahukan maksud tersebut. Dalam balasan suratnya
Sultan Muhammad Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m2 dengan sewa
per bulannya sebesar ƒ250 (uang waktu itu), dan apabila Ajidan (Adrian)
pulang ke Belanda, maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan
Simpang. Kemudian Ajidan (Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan
Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang VOC
didirikan di Pontianak. Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman
Alqadrie mendirikan pemukiman di Pontianak setelah mendapat restu dari
Sultan Jamaluddin, dan tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan
Kerajaan Pontianak. Ajidan (Adrian) digantikan oleh Residen Suhar
(Walter Markus Stuart). Melalui Residen Suhar (Stuart), Belanda
menawarkan persahabatan dengan Sultan Simpang. Dia menghadap Sultan
Muhammad Jamaluddin menyampaikan perintah dari Raja Belanda dan Gubernur
Jenderal VOC di Betawi (Renier de Klerk) : Kata Rasiden Suhar kepada
Sultan “Raja, adapun saya datang ini menghadap Raja, membawa perintah
dari Raja saya yaitu Raja Belanda serta Jenderal VOC di Betawi hendak
bersahabat kepada Raja disini” Maka dijawab Sultan “boleh bangsa engkau
bersahabat dengan aku tetapi jika dapat bangsa engkau orang Belanda
memaklumkan musuh dilaut itu” Bertanya Residen Suhar “musuh apa Raja,
dilaut itu? ’Di jawab Sultan ‘Adapun musuh dilaut itu bangsa Lanun,
bangsa bajak namanya. Jika engkau bangsa Belanda dapat memaklumkan,
menangkapnya, mengamankan perairan pesisir pantai Simpang dan selat
Karimata dari gangguan Lanun, bajak laut itu.
Salah
satu sebab mengapa Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat
pemerintahannya dari Sukadana ke Matan adalah serangan dan gangguan
lanun, bahkan ketika pindah ke Matan pun Lanun pernah menyerang sampai
masuk jauh ke sungai Melano, namun mereka terkecoh oleh Bukit Penggalang
yang nampak melintang ditengah sungai, dikiranya sungai itu tidak ada
hulunya (sungai buntu) akhirnya karena mengira terjebak dan takut
diserang balik mereka tergesa-gesa mundur dengan membuang muatan peluru
dan senjatanya ke sebuah lubuk di sungai Simpang, lubuk itu dinamai
“lubuk senjata”
Kemudian setelah
Residen Suhar pulang melaporkan hasil pertemuannya dengan Sultan Simpang
kepada Jenderal di Betawi, dia datang kembali membawa perintah lagi
dari Raja Belanda dan Jenderal di Betawi menawarkan jasanya untuk
menolong Sultan Simpang dalam menjalankan pemerintahan, karena terlalu
luasnya wilayah kerajaan, sehingga dengan bantuan itu Sultan tinggal
menerima keputusan saja. Tawaran itu diterima Sultan dengan ketentuan
harus menurut pemerintah Sultan dan tidak boleh berkuasa sendiri.
Begitulah perjanjian dahulu dengan Sultan Muhammad Jamaluddin tidak ada
Belanda berkuasa di Simpang ini karena bedil peluru dan meriamnya tetapi
dengan segala tipu muslihatnya.
Percaya
dengan janji dan persahabatan, maka Sultan mengirim sepucuk surat
kepada Raja Belanda dan mengirimkan “Intan Sejima” yang diserahkan
kepada Residen Suhar. Jenderal di Betawipun pergi ke negeri Belanda
membawa surat serta Intan Sejima itu kepada Raja Belanda Willem. Setelah
tiga bulan kemudian Residen Suhar membawa balasannya berupa uang harga
Intan itu dan diserahkan kepada Sultan.
Pada zaman Sultan Muhammad Jamaluddin Belanda belum menguasai Kerajaan Simpang baru dalam batas perjanjian-perjanjin saja.
b). Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suriyaningrat) 1814 – 1829
Gusti Mahmud adalah Raja pertama yang
menggunakan gelar Panembahan karena gelar Sultan tidak diperbolehkan
oleh Belanda untuk dipakai lagi “… te benoemen inlandschen vosrt, onder
den title van panembahan….” (J.P.J.Barth 1879:17).
Di
awal pemerintahan Gusti Mahmud, Belanda belum menguasai sepenuhnya
kerajaan Simpang, masih terbatas dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian
di masa Sultan Muhammad Jamaluddin: berupa perjanjian persahabatan,
pengamanan perairan pesisir pantai dan Selat Karimata, serta bantuan
dalam pengelolaan pemerintahan.
Pada
zaman Pangeran Anom Suryaningrat ini telah terjadi perjanjian antara
Kerajaan Simpang dan Kerajaan Matan (Kayong?) dengan Belanda oleh
Komissaris Tobias yang ditandatangani tanggal 14 Juni 1823 di Simpang.
Diperbaharui lagi tahun 1837 dan 1845.
Bermula
penguasaan Kerajaan Simpang ini oleh Belanda, ditandai dengan
penggantian residen dari Residen Suhar digantikan oleh Residen Litter.
Dia menghadap Gusti Mahmud diperintahkan Jenderal di Betawi untuk
meminta tanah di Sukadana dan Karimata. Berkata Gusti Mahmud bahwa tanah
di Sukadana dan Karimata tidak boleh diminta, jika dipinjam boleh
selama 4 turunan dan dibayar kerugiannya (sewanya) setahun ƒ4500 Setelah
mendapat pinjaman Belanda berjanji di Sukadana dan Karimata itu hanya
untuk mendirikan kantor (loji) sebagai pusat pengendalian pemberantasan
lanun/bajak laut, namun ternyata yang dibangunnya tangsi-tangsi dan
penjara untuk menempatkan serdadunya yang bertujuan sebagai basis untuk
menguasai dan pengendalian daerah jajahannya. Dari tangsi inilah Belanda
memerangi perlawanan rakyat Kerajaan Simpang dalam perang Belangkait
dan perang Tumbang Titi dihulu Ketapang. Setelah mendapat pinjaman tanah
Sukadana dan Karimata, Belanda mengganding Raja Akil dari Siak (Riau)
yang juga sering disebut sebagai mayor Akil. Iapun diangkat sebagai Raja
Sukadana. Nama Sukadana diganti dengan Niew Brussel (lidah Melayu
menyebutnya Beresol). Setelah Raja Akil diangkat menjadi Sultan dengan
gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah tahun 1828, hanya Sukadana sajalah
yang boleh menggunakan gelar Sultan dan yang lainnya bergelar
Panembahan (J. P. J. Barth, 1879:17).
Karena
Raja Akil tidak disenangi dan disetujui oleh rakyat, maka timbullah
perselisihan dengan Residen Belanda, maka setelah meninggal tahun 1849,
jabatan Sultan dihapuskan dan penggantinya hanya bergelar Panembahan.
(Ansar Rachman, Bab V:8)
Raja-raja Sukadana selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Tengku Besar Anom (1849-1878)2. Panembhan Tengku Putra (1878-1910)
3. Panembahan Tengku Andut (1910-1939)
4..Panembahan Tengku Abdul Hamid (1939-1940)
5. Panembahan (Dokoh) Muhammad Idris (1940-1943)
6. Panembahan Tengku Muhammad (1943-1946)
7. Panembahan Tengku Adam
Tahun 1959 Kerajaan/Swapraja Sukadana
dihapuskan, sementara itu saudara dari Raja Akil diangkat menjadi
penguasa di Kepulauan Karimata:
1. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja`far (1833) kawin dengan cucu Batin Galang Setia Raja.2. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Bujang (1863)
3. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Panglima Abdul Jalil (1866)
Begitulah akhirnya Kerajaan Simpang
dikuasai oleh Belanda dan gelar keSultanan dihapuskan dan hanya boleh
menggunakan gelar Panembahan, maka Gusti Mahmud Raja Simpang yang
pertama memakai gelar Panembahan, dengan gelar Panembahan Anom
Suriyaningrat. (Gusti Maerat 1956:64).
Gusti Mahmud mempunyai sembilan orang anak dari beberapa isterinya, yaitu:
- Gusti Muhammad Roem bergelar Pangeran Kesumayuda. - Gusti Madina bergelar Pangeran Nataningrat
- Gusti Nalar bergelar Pangeran Suria.
- Gusti Kupah bergelar Pangeran Putera.
- Gusti Pandang bergelar Pangeran Perdana Menteri, kawin di Kayong dengan Utin Ayu anak Sultan Anom.
- Gusti Makrifat, Gusti Mengkaning, Gusti Agus tidak berpangkat\ bergelar, Utin Majelis (Gusti Maerat, 1956:64).
Pada akhir pemerintahan Gusti Mahmud Residen Belanda yang bernama Suhar digantikan Residen Litir.
c). Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat) 1829 - 1874
Gusti Muhammad Roem (Pangeran
Kesumayuda) setelah naik tahta bergelar Panembahan Anom Kesumaningrat
mempunyai anak 39 orang dari beberapa isterinya diantaranya :
- Gusti Panji setelah menjadi raja bergelar Panembahan Suryaningrat.- Gusti Roem setelah menjadi raja bergelar Panembahan Gusti Roem
- Gusti Rajuna, bergelar Pangeran Mangku.
- Gusti Itam
- Gusti Merkum,
- Gusti Kalayumdan,
- Gusti Mursal
d). Gusti Panji ( Panembahan Suryaningrat ) 1874 - 1919
Diawal pemerintahan Panembahan
Suryaningrat agaknya Belanda menaruh perhatian yang besar karena
tentunya berdasarkan kepentingannya sehingga perlu mengadakan pendekatan
untuk mempererat persahabatan yang nantinya menerapkan
perjanjian-perjanjian. Mungkin dalam usaha yang demikianlah sehingga
Belanda menganggap perlu menyampaikan berita kematian Willem III kepada
Panembahan Suryaningrat dengan Surat Khusus dari Gubernur Jenderal Mr.
Cornelis Pijnacker hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891 yang
merupakan berita dukacita memberi tahukan bahwa Raja Belanda Willem III
telah meninggal pada tanggal 23 Nopember 1890 dalam usia 73 tahun 9
bulan 4 hari.
Surat yang telah dialih aksarakan dari tulisan Arab Melayu ke Latin selengkapnya adalah sebagai berikut :
K A U K U L H A K .
“Bahwa
inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat
kita yang termaktub didalamnya dengan beberapa tabik dan selamat. Yaitu
dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas
tanah air Hindia Nederland Mr. Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang
terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang bersemayam
diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi.
Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam kehadapan Paduka
Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri
Simpang. Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal
afiat. Wabadu kemudian daripada itu maka adalah kita mengirimkan
warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari
negeri Nederland yang menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda
yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan Nopember 1890 dengan
takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9
bulan 4 hari. Sesudah gering beberapa lama ialah bagi kita dikasihani
dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil
dan penuh kasih sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana
yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.
Bahwa
karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua
yang bernama Wilhelmina Helena Maria yang sekarang jadi gantinya
baginda, bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil
baliq maka yang memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja
yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm yang
ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia. Oleh karena mangkat ….baginda
dengan dukacita yang amat sangat besarnya.
Termaktub dinegeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891”.(Ansar Rahman, 2000:285).
Begitulah ikatan persahabatan yang ditunjukkan oleh Belanda.
Gusti Panji mempunyai 21 anak, 13 laki-laki dan 8 orang perempuan diantaranya, yaitu ;
1. Gusti Mansur (berpangkat Pangeran Ratu), mempunyai anak; Gusti Kencana, Gusti Mahmud, Gusti Achyar, Utin Mina, Utin Tahara, Utin Karyasin.
2. Gusti Samba (berpangkat Pangeran Kesumayuda), mempunyai anak; Gusti Kintil, Gusti Jamadin, Gusti
Bandan, Gusti Usman, Utin Ranas, Utin Ubit, Utin Ucil, Utin Perak, dan Utin Ating.
3. Gusti Ismail (berpangkat Pangeran Kesumayadi), mempunyai anak; Gusti Nabat, Gusti Hamzah, Gusti
Maskat, Utin Serkaya, Utin Bedarih.
4. Gusti Tamjid (berpangkat Pangeran Kesuma Anom), mempunyai anak; Gusti Mahira (Maerat), Utin Sila,
Utin Sinar Midi, Utin Mahrani, Utin Bugur, Utin Jematin, Utin Mahniaran.
5. Gusti Muhammad Kasim (berpangkat Pangeran Adi), mempunyai anak; Gusti Jelma, Gusti Hidayat, Gusti
Citil, Gusti Mekah, Gusti Abdulhamid, Gusti Man, Utin Selindit, Utin Ranik, Utin Kuna, Utin Sibar, Utin
Fatimah, Utin Ayu.
6. Gusti Mahdewa, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Busri, Gusti Lanang, Gusti Baguk, Utin
Sitimanya, Utin Unung.
7. Gusti Masdar, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Basuni, Gusti Abdulwahab, Gusti Arif, Utin Ayu.
8. Gusti Cerana,
9. Gusti Muskan,
10. Gusti Megat,
11. Gusti Dahlan,
12. Gusti Serban,
13. Gusti Sendang.
Pada masa Panembahan Gusti Panji
terjadi Perang Belangkait yang terjadi akibat adanya pertentangan dengan
penjajahan Belanda. Bermula dari gagalnya Belanda membujuk Panembahan
untuk menandatangani Kontrak Pendek (Korte Verklaring). Kemudian
Panembahan ditangkap namun kapal yang penuh dengan tentara itu berjalan
miring sebelah, dan akhirnya kapal tersebut mendarat dekat sebatang
pohon dungun yang besar. Pohon dungun itu disebut penduduk dengan
“Dungun Kapal”.
Karena tidak
berhasil membujuk dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan
sendiri isi Kontrak Pendek itu dengan memaksa rakyat unruk membayar
pajak (blasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat
untuk menentang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepucuk
bergelar Hulubalang I yang bernama Abdusamad dan terkenal dengan
panggilan “Ki Anjang Samad” dengan semboyannya “Daripada membayar
blasting dengan Belanda lebih baik mati”. Panembahan Gusti Panji sendiri
turun ke kampung-kampung membakar semangat rakyatnya untuk melawan
penjajahan.
Dalam keadaan yang
sudah siap perang datanglah sepasukan suku Dayak dari hulu Tumbang Titi
utusan dari Uti Usman (pemimpin perang Tumbang Titi di hulu Ketapang).
Pasukan itu dipimpin Panglima Ropa dengan panglima-panglima: Ida, Gani,
Enteki, Etol, dan Panglima Gecok. Dengan 20 panglima dan banyak
prajurit, mereka menyerang Sukadana. Akan tetapi tangsi Sukadana telah
kosong, jadi mereka melanjutkan menyerang Loji (Kantor Belanda) di Pulau
Datok. Namun disana juga kosong karena Belanda mengosentrasikan
pasukannya di Tumbang Titi untuk menghadapi Uti Usman.
Beberapa
hari kemudian, datanglah sepasukan Belanda dengan Kapal Bukat yang
dipimpin oleh Letnan Obos dan Tuan Sepak. Terjadilah pertempuran
berseberangan sungai di Kampung Belangkait. Setelah terbunuhnya Ki
Anjang Samad di hari pertama dan Patih Kembereh di hari kedua, dan
tertangkapnya lima orang panglima yang kemudian di tawan di Sukadana,
akan tetapi panglima lainnya tetap
melanjutkan
perang gerilya. Empat dari lima panglima yang dipenjara meninggal di
penjara Sukadana tinggal Panglima Enteki setelah beberapa tahun kemudian
dibebaskan (Gusti Mulia, 1967:3).
Pada
masa Panembahan Gusti Roem di Kerajaan Simpang Teluk Melano, ada yang
bergerak melanjutkan perang Belangkait dengan tidak secara fisik
berhadapan langsung dengan penjajah Belanda, tetapi dengan cara sosial
dan politik seperti yang dilakukan oleh Gusti Hamzah. Gusti Hamzah
adalah anak Gusti Ismail, cucu dari Gusti Panji. Ia meneruskan cita-cita
perjuangan dengan teman-temannya dari daerah lain yang aktif dalam
organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919.
Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang mendirikan
Syarikat Rakyat (1923).
Pada
tahun 1926 atas perintah Gubernur Jendral D. Fock mengadakan penangkapan
dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya,
termasuk Gusti Hamzah yang kemudian dijebloskan ke penjara, dan
diasingkan ke Boven Digul. Gusti Hamzah baru dibebaskan 11 tahun
kemudian dan dipulangkan pada tahun 1938, dan ditahan di penjara
Sukadana (Ansar Rachman:291).
e). Gusti Roem (Panembahan Gusti Roem/Panembahan Anom Kusumangrat ) 1911 – 1942
Gusti
Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki
dari enam orang istrinya, yaitu: Gusti Umar (Menteri Polisi), Gusti
Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani) ketiganya ini
menjadi korban fasisme Jepang pada tahun 1943. Anaknya yang lain, yaitu :
Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri
(Otek) kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana
korban fasisme Jepang tahun 1943. Utin Aminah (Are) kawin dengan Tengku
Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon),
Utin Jamilah (Entol) kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot kawin Raden
Saleh, Utin Temah kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme Jepang
tahun 1943, dan Utin Ayu. Kawin dengan Daeng Dolek.
Gusti
Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan dengan
Perang Belangkait yang berakhir pada tahun 1913. Semula Gusti Roem
menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang, namun Belanda
mengancam akan menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil
di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja Tanjungpura,
Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan
menjadi kekuasaan keturunan Raja Akil. Dengan rasa berat, Gusti Roem
menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai
Na’im dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah
dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang dengan membiarkan Gusti Panji
mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di
istana Kerajaan Simpang, dan di makamkan di pemakaman Raja-Raja di
Simpang.
Kemudian Gusti Roem
membangun kedudukan di Telok Melano. Nama Melano sudah terkenal sejak
masa Singosari dan Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca.
Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti menyerahkan
penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum
kata “HET NENERLANDSCH INDISCH GOUVERNEMENT AAN DEA PANEMBAHAN VAN
SIMPANG”
Dalam usahanya mengikat
kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu
dipinjamkan kepada Belanda yaitu Sukadana dan Karimata, Panembahan Gusti
Roem menggunakan pendekatan Politik Perkawinan. Beliau kawin dengan
Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku
Sa’diyah dari Karimata keturunan Kepala Kepulauan Karimata Tengku
Ja’far.
Kemudian Beliau kawinkan
puterinya Utin Baiduri dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan
Sukadana yang menjadi korban fasisme Jepang. Dan mengawinkan Utin Aminah
dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan
sistem perkawinan ini terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan dari
wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan Simpang. Beliau meninggal
sebagai korban fasisme Jepang pada tahun 1943.
f). Gusti Mesir (Panembahan Gusti Mesir) 1942 – 1944
Gusti Roem mengangkat penggantinya
Gusti Mesir dari putra Ratu yang bungsu. Pada masa Panembahan Gusti
Mesir keadaan perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama
dari hasil hutan dan kebun, terutama karet. Berakhirnya kemakmuran
rakyat Simpang dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami
penderitaan yang berat, kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat
makan ubi, sagu, dan berkain/celana goni dan berbaju kapuak (kulit kayu)
ditambah dengan teror yang dilakukan Jepang dan kaki tangannya. Pada
peristiwa penangkapan raja-raja tanggal 23 Desember 1943 yang datang
diundang Jepang untuk menghadiri suatu pertemuan di Pontianak kesemuanya
dibunuh Jepang, kecuali Gusti Mesir yang waktu itu dibebaskan atas
bantuan Tuan Siama Kepala Maskapai Durian Sebatang. Ketika memenuhi
undangan ke Pontianak itu, Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin
iparnya yang selalu diikut sertakan sebagai pembantunya untuk
mempersiapkan semua keperluan selama berpergian. Begitu dia dibebaskan
dimintanya pula iparnya Mas Raijin agar dibebaskan. Namun sulit sekali
untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang
disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat
melihat saja. Untunglah dia akhirnya dapat ditemukan, karena ketika
dalam barisan yang panjang, tawanan yang disungkup itu sedang berjalan,
maka tampaklah seorang diantaranya yang berjalan pincang. Itulah
keberuntungan Mas Raijin karena kakinya pincang, selamat ia dari samurai
Kempetai Jepang.
Setelah
beberapa hari dibebaskan, berkumpullah semua penggawa, patih, demong,
para kiyai serta kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana
Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Uti Hamzah. Pertemuan itu
dimaksudkan untuk mencari jalan bagaimana menyelamatkan Panembahan. Ada
yang menyarankan agar melawan Jepang, ada yang mengusulkan supaya
diisukan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang
mengganas sehingga banyak penduduk menjadi korban. Ada pula yang
mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua alternatif itu
dengan halus ditolak Panembahan karena semuanya tidak rasional dan bakal
mengorbankan rakyat sendiri. Beliau menyatakan: “Biarlah aku yang
menjadi korban, asal jangan rakyat”.
Dalam
keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak –
Kepala Staatwach (mata-mata) Belanda. Maka, datanglah Jepang dari
Ketapang dan Sukadana mencarinya dan penduduk diminta membantu
penangkapan pelarian tersebut. Akhirnya pelarian itu tertangkap di
Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari
setelah ditangkapnya staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua
orang Kempetai yang ternyata bertugas untuk membawa menangkap Panembahan
Gusti Mesir. Kemudian ikut dibawa pula Gusti Tawi. Dari Telok Melano
terus ke hulu Sungai Mata – Mata mengambil Gusti Roem (Panembahan Tua),
terus mudik lagi ke Sungai Pinang mengambil Gusti Umar. Supir Gusti Roem
yang bernama Dolah, Bujang Kerepek, dan Tengku Ajung (menantu Gusti
Roem) juga ditangkap. Menurut cerita Utin Tahara (istri dari Gusti Mesir
semasa hidup tahun 1950-an) setelah Gusti Mesir kembali dari Pontianak
pada waktu penangkapan pertama itu, dia berkata bahwa Jepang nanti pasti
akan datang lagi untuk menagkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu
itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaiannya baik siang
maupun malam, bahkan tidurpun beliau masih mengenakan sepatu.
Seminggu
kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya
itu kempetai-kempetai Jepang itu datang lagi ke istana dan langsung
memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan
kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan merekapun tidak
menyatakan sesuatu apapun. Beredar isu bahwa Jepang mencari dua orang
tawanan yang hilang yang dimaksud adalah Panembahan Gusti Mesir dan
Panembahan Saunan.
Gusti Mesir
memiliki lima orang anak yang kesemuanya laki-laki, yaitu: Gusti
Ibrahim, Gusti Abdulmuthalib, Gusti Muhammad Mulia, Gusti Mahmud, dan
Gusti Mastur.
g). Gusti Ibrahim
Sebagai pengganti Panembahan Gusti
Mesir, putra mahkota Gusti Ibrahim sesuai dengan adat kerajaan yang
berlaku diangkat melalui musyawarah lima suku, yaitu: Maya, Mengkalang,
Siring, Priyayi, Mambal dan dilengkapi pula dengan keturunan dari Panca.
Pengangkatan
Panembahan ini atas perintah dari Tuan Bunkenkanrikan Sukadana yang
dilaksanakan pada 1 Kugatau 2605. Oleh karena Gusti Ibrahim baru berusia
14 tahun dan masih sekolah, maka ditunjuklah Gusti Mahmud (Pangeran
Ratu) bin Gusti Mansur sebagai Mangkubumi. Sampai sekarang Gusti Ibrahim
belum dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Simpang Matan.
Selengkapnya pengangkatan Gusti Ibrahim sebagai berikut :
CATATAN HASIL
PENUNJUKKAN DOKOH KERAJAAN SIMPANG
Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang. Berhadir :
Gusti Intan, Yogikai Giin.
Uti Hamzah, Ketua Komisi.
Lim Tek Sun, Lothay.
Busu, Syonco Kota.
Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring, Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.
Selaku wakil-wakil tersebut berkhadir:
Wakil Siring : Adikasuma Manteri Perawat.
Wakil Mambal : S a h m i n .
Wakil Mengkalang : ……………………………..
Wakil M a y a : Johan Syonco II Penjalaan Hulu.
Wakil Priyai : Raden Gondel Syonco Rangkap.
Wakil Panca : Rasip Syonco II Sungai Padu.
Maka dengan memperhatikan dari turunan yang lurus, telah ditunjukkan sebagai Simpang Syuco :
GUSTI IBRAHIM BIN GUSTI MESIR
Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi bernama :
GUSTI MAHMUD BIN GUSTI MANSUR (Pangeran Ratu)
Telok Melano, 1 Kugatau 2605
Syanco Kota dtt. BUSU a.n. Simpang Zitiryo Yogikai Gityo,
Lothay dtt. Lim Tek Sun d.t.t.
Ketua Komisi dtt. Uti Hamzah MASTERT DINGANG
h). Gusti Mahmud (Mangku Bumi) 1945 – 1952
Kekosongan jabatan Panembahan Simpang
dikarenakan Panembahan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang dari
tahun 1943 sanpai 1945. Diakhir kekuasaan Jepang tahun 1945 diangkatlah
Gusti Ibrahim sebagai Panembahan Kerajaan Simpang dengan Mangku Bumi
Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala
Swapraja Simpang sampai meninggal dunia tahun 1952.
PENGHAPUSAN SWAPRAJA
Setelah berlakunya Undang-Undang No.27
tahun 1959 semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur, dan pada
tanggal 4 Juli 1959 pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan
Daerah. Berdasarakan Instruksi Gubernur KDH. Propinsi Kalimantan Barat
tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja
diserah terimakan pada Pemerintah Daerah, dengan ketentuan
- Bekas wakil Panembahan Sukadana dibantukan pada Kantor Wedana Sukadana.- Anggota-anggota Majlis Swapraja Matan dibantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II
Ketapang.
- Semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang.
- Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
- Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok Melano.
(Disunting dari Buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura, Gusti Mhd. Mulia)
No comments:
Post a Comment