Saturday, January 5, 2013

KERAJAAN SIMPANG MATAN(1762-1959-KINI)



Kerajaan Simpang dinamakan demikian karena letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu cabang di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jadi nama SIMPANG itu karena letaknya dipersimpangan dua sungai. Kerajaan Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan, hanya setengah hari perjalanan mudik dari Simpang sampailah ke Matan.
Karena hubungan emosional dan kedekatannya dengan Matan, maka Kerajaan Simpang mencantumkan nama Matan sehingga dikenal dengan Kerajaan Simpang Matan.
Kerajaan Simpang merupakan salah satu kerajaan yang terkenal di Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam Negara Kertagama, Mpu Prapanca menyebut pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk dalam Daerah III : … Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas … Kadang mwang i Landak Lenri Samedang (Simpang) … ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri. (Anshar Rahman:Tanjungpura Berjuang, 1970)
Kerajaan di Kalimantan Barat yang termasuk dalam wilayah Majapahit adalah Tanjungnegara (Tanjungpura, Kapuhas, Kandawangan, Landak, Simpang, Melano).

Raja-Raja Simpang Matan:
a). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814
Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.
Raja pertama Kerajaan Simpang Matan ini mempunyai empat orang anak, yaitu:
1. Gusti Mahmud, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat.
2. Gusti Asfar,  bergelar  Pangeran  Adipati.  Dia kawin  di Landak,  melahirkan Gusti Arif yang menurunkan
    keturunan Raja Landak.  Kemudian  dia  kawin  lagi di  Tayan melahirkan  Gusti  Hasan yang menurunkan
    keturunan Raja Tayan.
3. Gusti Jamiril, dan
4. Utin Upih.
Pada masa pemerintahannya, Belanda sudah mulai masuk. Ajidan (William Adrian Palm?) wakil Belanda (VOC) di Betawi datang ke Pontianak hendak meminjam tanah untuk mendirikan kantor dagangnya. Melalui Syarif Abdurahman mengirim surat kepada Sultan Simpang-Matan memberitahukan maksud tersebut. Dalam balasan suratnya Sultan Muhammad Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m2 dengan sewa per bulannya sebesar ƒ250 (uang waktu itu), dan apabila Ajidan (Adrian) pulang ke Belanda, maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan Simpang. Kemudian Ajidan (Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang VOC didirikan di Pontianak. Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman Alqadrie mendirikan pemukiman di Pontianak setelah mendapat restu dari Sultan Jamaluddin, dan tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan Kerajaan Pontianak. Ajidan (Adrian) digantikan oleh Residen Suhar (Walter Markus Stuart). Melalui Residen Suhar (Stuart), Belanda menawarkan persahabatan dengan Sultan Simpang. Dia menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin menyampaikan perintah dari Raja Belanda dan Gubernur Jenderal VOC di Betawi (Renier de Klerk) : Kata Rasiden Suhar kepada Sultan “Raja, adapun saya datang ini menghadap Raja, membawa perintah dari Raja saya yaitu Raja Belanda serta Jenderal VOC di Betawi hendak bersahabat kepada Raja disini” Maka dijawab Sultan “boleh bangsa engkau bersahabat dengan aku tetapi jika dapat bangsa engkau orang Belanda memaklumkan musuh dilaut itu” Bertanya Residen Suhar “musuh apa Raja, dilaut itu? ’Di jawab Sultan ‘Adapun musuh dilaut itu bangsa Lanun, bangsa bajak namanya. Jika engkau bangsa Belanda dapat memaklumkan, menangkapnya, mengamankan perairan pesisir pantai Simpang dan selat Karimata dari gangguan Lanun, bajak laut itu.
Salah satu sebab mengapa Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat pemerintahannya dari Sukadana ke Matan adalah serangan dan gangguan lanun, bahkan ketika pindah ke Matan pun Lanun pernah menyerang sampai masuk jauh ke sungai Melano, namun mereka terkecoh oleh Bukit Penggalang yang nampak melintang ditengah sungai, dikiranya sungai itu tidak ada hulunya (sungai buntu) akhirnya karena mengira terjebak dan takut diserang balik mereka tergesa-gesa mundur dengan membuang muatan peluru dan senjatanya ke sebuah lubuk di sungai Simpang, lubuk itu dinamai “lubuk senjata”
Kemudian setelah Residen Suhar pulang melaporkan hasil pertemuannya dengan Sultan Simpang kepada Jenderal di Betawi, dia datang kembali membawa perintah lagi dari Raja Belanda dan Jenderal di Betawi menawarkan jasanya untuk menolong Sultan Simpang dalam menjalankan pemerintahan, karena terlalu luasnya wilayah kerajaan, sehingga dengan bantuan itu Sultan tinggal menerima keputusan saja. Tawaran itu diterima Sultan dengan ketentuan harus menurut pemerintah Sultan dan tidak boleh berkuasa sendiri. Begitulah perjanjian dahulu dengan Sultan Muhammad Jamaluddin tidak ada Belanda berkuasa di Simpang ini karena bedil peluru dan meriamnya tetapi dengan segala tipu muslihatnya.
Percaya dengan janji dan persahabatan, maka Sultan mengirim sepucuk surat kepada Raja Belanda dan mengirimkan “Intan Sejima” yang diserahkan kepada Residen Suhar. Jenderal di Betawipun pergi ke negeri Belanda membawa surat serta Intan Sejima itu kepada Raja Belanda Willem. Setelah tiga bulan kemudian Residen Suhar membawa balasannya berupa uang harga Intan itu dan diserahkan kepada Sultan.
Pada zaman Sultan Muhammad Jamaluddin Belanda belum menguasai Kerajaan Simpang baru dalam batas perjanjian-perjanjin saja.

b). Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suriyaningrat) 1814 – 1829
Gusti Mahmud adalah Raja pertama yang menggunakan gelar Panembahan karena gelar Sultan tidak diperbolehkan oleh Belanda untuk dipakai lagi “… te benoemen inlandschen vosrt, onder den title van panembahan….” (J.P.J.Barth 1879:17).
Di awal pemerintahan Gusti Mahmud, Belanda belum menguasai sepenuhnya kerajaan Simpang, masih terbatas dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian di masa Sultan Muhammad Jamaluddin: berupa perjanjian persahabatan, pengamanan perairan pesisir pantai dan Selat Karimata, serta bantuan dalam pengelolaan pemerintahan.
Pada zaman Pangeran Anom Suryaningrat ini telah terjadi perjanjian antara Kerajaan Simpang dan Kerajaan Matan (Kayong?) dengan Belanda oleh Komissaris Tobias yang ditandatangani tanggal 14 Juni 1823 di Simpang. Diperbaharui lagi tahun 1837 dan 1845.
Bermula penguasaan Kerajaan Simpang ini oleh Belanda, ditandai dengan penggantian residen dari Residen Suhar digantikan oleh Residen Litter. Dia menghadap Gusti Mahmud diperintahkan Jenderal di Betawi untuk meminta tanah di Sukadana dan Karimata. Berkata Gusti Mahmud bahwa tanah di Sukadana dan Karimata tidak boleh diminta, jika dipinjam boleh selama 4 turunan dan dibayar kerugiannya (sewanya) setahun ƒ4500 Setelah mendapat pinjaman Belanda berjanji di Sukadana dan Karimata itu hanya untuk mendirikan kantor (loji) sebagai pusat pengendalian pemberantasan lanun/bajak laut, namun ternyata yang dibangunnya tangsi-tangsi dan penjara untuk menempatkan serdadunya yang bertujuan sebagai basis untuk menguasai dan pengendalian daerah jajahannya. Dari tangsi inilah Belanda memerangi perlawanan rakyat Kerajaan Simpang dalam perang Belangkait dan perang Tumbang Titi dihulu Ketapang. Setelah mendapat pinjaman tanah Sukadana dan Karimata, Belanda mengganding Raja Akil dari Siak (Riau) yang juga sering disebut sebagai mayor Akil. Iapun diangkat sebagai Raja Sukadana. Nama Sukadana diganti dengan Niew Brussel (lidah Melayu menyebutnya Beresol). Setelah Raja Akil diangkat menjadi Sultan dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah tahun 1828, hanya Sukadana sajalah yang boleh menggunakan gelar Sultan dan yang lainnya bergelar Panembahan (J. P. J. Barth, 1879:17).
Karena Raja Akil tidak disenangi dan disetujui oleh rakyat, maka timbullah perselisihan dengan Residen Belanda, maka setelah meninggal tahun 1849, jabatan Sultan dihapuskan dan penggantinya hanya bergelar Panembahan. (Ansar Rachman, Bab V:8)
Raja-raja Sukadana selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Tengku Besar Anom (1849-1878)
2. Panembhan Tengku Putra (1878-1910)
3. Panembahan Tengku Andut (1910-1939)
4..Panembahan Tengku Abdul Hamid (1939-1940)
5. Panembahan (Dokoh) Muhammad Idris (1940-1943)
6. Panembahan Tengku Muhammad (1943-1946)
7. Panembahan Tengku Adam
Tahun 1959 Kerajaan/Swapraja Sukadana dihapuskan, sementara itu saudara dari Raja Akil diangkat menjadi penguasa di Kepulauan Karimata:
1. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja`far (1833) kawin dengan cucu Batin Galang Setia Raja.
2. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Bujang (1863)
3. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Panglima Abdul Jalil (1866)
Begitulah akhirnya Kerajaan Simpang dikuasai oleh Belanda dan gelar keSultanan dihapuskan dan hanya boleh menggunakan gelar Panembahan, maka Gusti Mahmud Raja Simpang yang pertama memakai gelar Panembahan, dengan gelar Panembahan Anom Suriyaningrat. (Gusti Maerat 1956:64).
Gusti Mahmud mempunyai sembilan orang anak dari beberapa isterinya, yaitu:
- Gusti Muhammad Roem bergelar Pangeran Kesumayuda.
- Gusti Madina bergelar Pangeran Nataningrat
- Gusti Nalar bergelar Pangeran Suria.
- Gusti Kupah bergelar Pangeran Putera.
- Gusti Pandang bergelar Pangeran Perdana Menteri, kawin di Kayong dengan Utin Ayu anak Sultan Anom.
- Gusti Makrifat, Gusti Mengkaning, Gusti Agus tidak berpangkat\ bergelar, Utin Majelis (Gusti Maerat, 1956:64).
Pada akhir pemerintahan Gusti Mahmud Residen Belanda yang bernama Suhar digantikan Residen Litir.

c). Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat) 1829 - 1874
Gusti Muhammad Roem (Pangeran Kesumayuda) setelah naik tahta bergelar Panembahan Anom Kesumaningrat mempunyai anak 39 orang dari beberapa isterinya diantaranya :
- Gusti Panji setelah menjadi raja bergelar Panembahan Suryaningrat.
- Gusti Roem setelah menjadi raja bergelar Panembahan Gusti Roem
- Gusti Rajuna, bergelar Pangeran Mangku.
- Gusti Itam
- Gusti Merkum,
- Gusti Kalayumdan,
- Gusti Mursal

d). Gusti Panji ( Panembahan Suryaningrat ) 1874 - 1919
Diawal pemerintahan Panembahan Suryaningrat agaknya Belanda menaruh perhatian yang besar karena tentunya berdasarkan kepentingannya sehingga perlu mengadakan pendekatan untuk mempererat persahabatan yang nantinya menerapkan perjanjian-perjanjian. Mungkin dalam usaha yang demikianlah sehingga Belanda menganggap perlu menyampaikan berita kematian Willem III kepada Panembahan Suryaningrat dengan Surat Khusus dari Gubernur Jenderal Mr. Cornelis Pijnacker hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891 yang merupakan berita dukacita memberi tahukan bahwa Raja Belanda Willem III telah meninggal pada tanggal 23 Nopember 1890 dalam usia 73 tahun 9 bulan 4 hari.
Surat yang telah dialih aksarakan dari tulisan Arab Melayu ke Latin selengkapnya adalah sebagai berikut :

K A U K U L H A K .
“Bahwa inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat kita yang termaktub didalamnya dengan beberapa tabik dan selamat. Yaitu dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah air Hindia Nederland Mr. Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang bersemayam diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi. Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam kehadapan Paduka Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri Simpang. Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal afiat. Wabadu kemudian daripada itu maka adalah kita mengirimkan warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari negeri Nederland yang menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan Nopember 1890 dengan takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9 bulan 4 hari. Sesudah gering beberapa lama ialah bagi kita dikasihani dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil dan penuh kasih sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.
Bahwa karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua yang bernama Wilhelmina Helena Maria yang sekarang jadi gantinya baginda, bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil baliq maka yang memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm yang ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia. Oleh karena mangkat ….baginda dengan dukacita yang amat sangat besarnya.
Termaktub dinegeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891”.(Ansar Rahman, 2000:285).

Begitulah ikatan persahabatan yang ditunjukkan oleh Belanda.
Gusti Panji mempunyai 21 anak, 13 laki-laki dan 8 orang perempuan diantaranya, yaitu ;
1. Gusti Mansur (berpangkat Pangeran Ratu), mempunyai anak; Gusti Kencana, Gusti Mahmud, Gusti
    Achyar, Utin Mina, Utin Tahara, Utin Karyasin.
2. Gusti Samba (berpangkat Pangeran Kesumayuda), mempunyai anak; Gusti Kintil, Gusti Jamadin, Gusti
    Bandan, Gusti Usman, Utin Ranas, Utin Ubit, Utin Ucil, Utin Perak, dan Utin Ating.
3. Gusti Ismail (berpangkat Pangeran Kesumayadi), mempunyai anak; Gusti Nabat, Gusti Hamzah, Gusti
    Maskat, Utin Serkaya, Utin Bedarih.
4. Gusti Tamjid (berpangkat Pangeran Kesuma Anom), mempunyai anak; Gusti Mahira (Maerat), Utin Sila,
    Utin Sinar Midi, Utin Mahrani, Utin Bugur, Utin Jematin, Utin Mahniaran.
5. Gusti Muhammad Kasim (berpangkat Pangeran Adi), mempunyai anak; Gusti Jelma, Gusti Hidayat, Gusti
    Citil, Gusti Mekah, Gusti Abdulhamid, Gusti Man, Utin Selindit, Utin Ranik, Utin Kuna, Utin Sibar, Utin
    Fatimah, Utin Ayu.
6. Gusti Mahdewa, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Busri, Gusti Lanang, Gusti Baguk, Utin
    Sitimanya, Utin Unung.
7. Gusti Masdar, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Basuni, Gusti Abdulwahab, Gusti Arif, Utin Ayu.
8. Gusti Cerana,
9. Gusti Muskan,
10. Gusti Megat,
11. Gusti Dahlan,
12. Gusti Serban,
13. Gusti Sendang.
Pada masa Panembahan Gusti Panji terjadi Perang Belangkait yang terjadi akibat adanya pertentangan dengan penjajahan Belanda. Bermula dari gagalnya Belanda membujuk Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Korte Verklaring). Kemudian Panembahan ditangkap namun kapal yang penuh dengan tentara itu berjalan miring sebelah, dan akhirnya kapal tersebut mendarat dekat sebatang pohon dungun yang besar. Pohon dungun itu disebut penduduk dengan “Dungun Kapal”.
Karena tidak berhasil membujuk dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri isi Kontrak Pendek itu dengan memaksa rakyat unruk membayar pajak (blasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menentang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepucuk bergelar Hulubalang I yang bernama Abdusamad dan terkenal dengan panggilan “Ki Anjang Samad” dengan semboyannya “Daripada membayar blasting dengan Belanda lebih baik mati”. Panembahan Gusti Panji sendiri turun ke kampung-kampung membakar semangat rakyatnya untuk melawan penjajahan.
Dalam keadaan yang sudah siap perang datanglah sepasukan suku Dayak dari hulu Tumbang Titi utusan dari Uti Usman (pemimpin perang Tumbang Titi di hulu Ketapang). Pasukan itu dipimpin Panglima Ropa dengan panglima-panglima: Ida, Gani, Enteki, Etol, dan Panglima Gecok. Dengan 20 panglima dan banyak prajurit, mereka menyerang Sukadana. Akan tetapi tangsi Sukadana telah kosong, jadi mereka melanjutkan menyerang Loji (Kantor Belanda) di Pulau Datok. Namun disana juga kosong karena Belanda mengosentrasikan pasukannya di Tumbang Titi untuk menghadapi Uti Usman.
Beberapa hari kemudian, datanglah sepasukan Belanda dengan Kapal Bukat yang dipimpin oleh Letnan Obos dan Tuan Sepak. Terjadilah pertempuran berseberangan sungai di Kampung Belangkait. Setelah terbunuhnya Ki Anjang Samad di hari pertama dan Patih Kembereh di hari kedua, dan tertangkapnya lima orang panglima yang kemudian di tawan di Sukadana, akan tetapi panglima lainnya tetap
melanjutkan perang gerilya. Empat dari lima panglima yang dipenjara meninggal di penjara Sukadana tinggal Panglima Enteki setelah beberapa tahun kemudian dibebaskan (Gusti Mulia, 1967:3).
Pada masa Panembahan Gusti Roem di Kerajaan Simpang Teluk Melano, ada yang bergerak melanjutkan perang Belangkait dengan tidak secara fisik berhadapan langsung dengan penjajah Belanda, tetapi dengan cara sosial dan politik seperti yang dilakukan oleh Gusti Hamzah. Gusti Hamzah adalah anak Gusti Ismail, cucu dari Gusti Panji. Ia meneruskan cita-cita perjuangan dengan teman-temannya dari daerah lain yang aktif dalam organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang mendirikan Syarikat Rakyat (1923).
Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jendral D. Fock mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuk Gusti Hamzah yang kemudian dijebloskan ke penjara, dan diasingkan ke Boven Digul. Gusti Hamzah baru dibebaskan 11 tahun kemudian dan dipulangkan pada tahun 1938, dan ditahan di penjara Sukadana (Ansar Rachman:291).

e). Gusti Roem (Panembahan Gusti Roem/Panembahan Anom Kusumangrat ) 1911 – 1942
Gusti Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki dari enam orang istrinya, yaitu: Gusti Umar (Menteri Polisi), Gusti Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani) ketiganya ini menjadi korban fasisme Jepang pada tahun 1943. Anaknya yang lain, yaitu : Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri (Otek) kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana korban fasisme Jepang tahun 1943. Utin Aminah (Are) kawin dengan Tengku Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon), Utin Jamilah (Entol) kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot kawin Raden Saleh, Utin Temah kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme Jepang tahun 1943, dan Utin Ayu. Kawin dengan Daeng Dolek.
Gusti Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan dengan Perang Belangkait yang berakhir pada tahun 1913. Semula Gusti Roem menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang, namun Belanda mengancam akan menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja Tanjungpura, Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan menjadi kekuasaan keturunan Raja Akil. Dengan rasa berat, Gusti Roem menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai Na’im dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang dengan membiarkan Gusti Panji mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di istana Kerajaan Simpang, dan di makamkan di pemakaman Raja-Raja di Simpang.
Kemudian Gusti Roem membangun kedudukan di Telok Melano. Nama Melano sudah terkenal sejak masa Singosari dan Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca. Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum kata “HET NENERLANDSCH INDISCH GOUVERNEMENT AAN DEA PANEMBAHAN VAN SIMPANG”
Dalam usahanya mengikat kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu dipinjamkan kepada Belanda yaitu Sukadana dan Karimata, Panembahan Gusti Roem menggunakan pendekatan Politik Perkawinan. Beliau kawin dengan Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku Sa’diyah dari Karimata keturunan Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja’far.
Kemudian Beliau kawinkan puterinya Utin Baiduri dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan Sukadana yang menjadi korban fasisme Jepang. Dan mengawinkan Utin Aminah dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan sistem perkawinan ini terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan dari wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan Simpang. Beliau meninggal sebagai korban fasisme Jepang pada tahun 1943.

f). Gusti Mesir (Panembahan Gusti Mesir) 1942 – 1944
Gusti Roem mengangkat penggantinya Gusti Mesir dari putra Ratu yang bungsu. Pada masa Panembahan Gusti Mesir keadaan perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan dan kebun, terutama karet. Berakhirnya kemakmuran rakyat Simpang dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat makan ubi, sagu, dan berkain/celana goni dan berbaju kapuak (kulit kayu) ditambah dengan teror yang dilakukan Jepang dan kaki tangannya. Pada peristiwa penangkapan raja-raja tanggal 23 Desember 1943 yang datang diundang Jepang untuk menghadiri suatu pertemuan di Pontianak kesemuanya dibunuh Jepang, kecuali Gusti Mesir yang waktu itu dibebaskan atas bantuan Tuan Siama Kepala Maskapai Durian Sebatang. Ketika memenuhi undangan ke Pontianak itu, Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin iparnya yang selalu diikut sertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama berpergian. Begitu dia dibebaskan dimintanya pula iparnya Mas Raijin agar dibebaskan. Namun sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah dia akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang diantaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin karena kakinya pincang, selamat ia dari samurai Kempetai Jepang.
Setelah beberapa hari dibebaskan, berkumpullah semua penggawa, patih, demong, para kiyai serta kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Uti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan bagaimana menyelamatkan Panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang, ada yang mengusulkan supaya diisukan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas sehingga banyak penduduk menjadi korban. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua alternatif itu dengan halus ditolak Panembahan karena semuanya tidak rasional dan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau menyatakan: “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat”.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak – Kepala Staatwach (mata-mata) Belanda. Maka, datanglah Jepang dari Ketapang dan Sukadana mencarinya dan penduduk diminta membantu penangkapan pelarian tersebut. Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari setelah ditangkapnya staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai yang ternyata bertugas untuk membawa menangkap Panembahan Gusti Mesir. Kemudian ikut dibawa pula Gusti Tawi. Dari Telok Melano terus ke hulu Sungai Mata – Mata mengambil Gusti Roem (Panembahan Tua), terus mudik lagi ke Sungai Pinang mengambil Gusti Umar. Supir Gusti Roem yang bernama Dolah, Bujang Kerepek, dan Tengku Ajung (menantu Gusti Roem) juga ditangkap. Menurut cerita Utin Tahara (istri dari Gusti Mesir semasa hidup tahun 1950-an) setelah Gusti Mesir kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, dia berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menagkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaiannya baik siang maupun malam, bahkan tidurpun beliau masih mengenakan sepatu.
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu kempetai-kempetai Jepang itu datang lagi ke istana dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan merekapun tidak menyatakan sesuatu apapun. Beredar isu bahwa Jepang mencari dua orang tawanan yang hilang yang dimaksud adalah Panembahan Gusti Mesir dan Panembahan Saunan.
Gusti Mesir memiliki lima orang anak yang kesemuanya laki-laki, yaitu: Gusti Ibrahim, Gusti Abdulmuthalib, Gusti Muhammad Mulia, Gusti Mahmud, dan Gusti Mastur.

g). Gusti Ibrahim
Sebagai pengganti Panembahan Gusti Mesir, putra mahkota Gusti Ibrahim sesuai dengan adat kerajaan yang berlaku diangkat melalui musyawarah lima suku, yaitu: Maya, Mengkalang, Siring, Priyayi, Mambal dan dilengkapi pula dengan keturunan dari Panca.
Pengangkatan Panembahan ini atas perintah dari Tuan Bunkenkanrikan Sukadana yang dilaksanakan pada 1 Kugatau 2605. Oleh karena Gusti Ibrahim baru berusia 14 tahun dan masih sekolah, maka ditunjuklah Gusti Mahmud (Pangeran Ratu) bin Gusti Mansur sebagai Mangkubumi. Sampai sekarang Gusti Ibrahim belum dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Simpang Matan.
Selengkapnya pengangkatan Gusti Ibrahim sebagai berikut :

CATATAN HASIL
PENUNJUKKAN DOKOH KERAJAAN SIMPANG

Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang. Berhadir :

Gusti Intan, Yogikai Giin.
Uti Hamzah, Ketua Komisi.
Lim Tek Sun, Lothay.
Busu, Syonco Kota.

Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring, Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.

Selaku wakil-wakil tersebut berkhadir:

Wakil Siring : Adikasuma Manteri Perawat.
Wakil Mambal : S a h m i n .
Wakil Mengkalang : ……………………………..
Wakil M a y a : Johan Syonco II Penjalaan Hulu.
Wakil Priyai : Raden Gondel Syonco Rangkap.
Wakil Panca : Rasip Syonco II Sungai Padu.

Maka dengan memperhatikan dari turunan yang lurus, telah ditunjukkan sebagai Simpang Syuco :

GUSTI IBRAHIM BIN GUSTI MESIR

Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi bernama :

GUSTI MAHMUD BIN GUSTI MANSUR (Pangeran Ratu)


Telok Melano, 1 Kugatau 2605


Syanco Kota dtt. BUSU a.n. Simpang Zitiryo Yogikai Gityo,

Lothay dtt. Lim Tek Sun d.t.t.


Ketua Komisi dtt. Uti Hamzah MASTERT DINGANG

h). Gusti Mahmud (Mangku Bumi) 1945 – 1952
Kekosongan jabatan Panembahan Simpang dikarenakan Panembahan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang dari tahun 1943 sanpai 1945. Diakhir kekuasaan Jepang tahun 1945 diangkatlah Gusti Ibrahim sebagai Panembahan Kerajaan Simpang dengan Mangku Bumi Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala Swapraja Simpang sampai meninggal dunia tahun 1952.

PENGHAPUSAN SWAPRAJA
Setelah berlakunya Undang-Undang No.27 tahun 1959 semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur, dan pada tanggal 4 Juli 1959 pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan Daerah. Berdasarakan Instruksi Gubernur KDH. Propinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja diserah terimakan pada Pemerintah Daerah, dengan ketentuan
- Bekas wakil Panembahan Sukadana dibantukan pada Kantor Wedana Sukadana.
- Anggota-anggota Majlis Swapraja Matan dibantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II
   Ketapang.
- Semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang.
- Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
- Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok Melano.

(Disunting dari Buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura, Gusti Mhd. Mulia)

No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...