Fiqhislam.com
- Dunia kembali menorehkan sejarah baru. Ahad, 17 Februari 2008,
seluruh bangsa di dunia menjadi saksi lahirnya negara Muslim pertama di
benua Eropa bernama Kosovo.
Pejuangan Muslim Kosovo yang berliku nan terjal—penuh airmata dan
darah—itu akhirnya berbuah kedaulatan dan kemerdekaan. Dunia pun
menyambut kehadiran negara Muslim itu.
Lalu bagaimanakah Islam menancapkan pengaruhnya di Kosovo hingga mampu bertahan sampai sekarang?
Sejarah mencatat, jejak peradaban di Kosovo telah ditemukan sejak
ribuan tahun lalu. Masyarakat Kosovo kuno dikenal dengan sebutan
Dardania. Sumber-sumber sejarah menyebutkan, Kerjaaan Dardania telah
berdiri di awal abad ke-4 SM.
Sejarawan Roma dan Yunani melukiskan, masyarakat Kosovo pada era itu
adalah para pekerja keras, murah hati, dan memiliki peradaban yang sudah
maju. Raja Longarus, Monunius, dan Bato merupakan penguasa Dardania
terkemuka yang kerap berperang dengan bangsa Macedonia. Kerajaan itu pun
seringkali memenangkan pertempuran.
Wilayah Dardania atau Kosovo begitu menggiurkan, lantaran kaya akan
sumber emas. Tulisan-tulisan kuno menggambarkan Dardania sebagai sentra
produsen perhiasan. Tak heran, bila kemudian wilayah itu selalu menjadi
incaran.
Imperium Romawi menaklukkan wilayah itu pada akhir abad ke-1 SM. Pada
masa kekuasaan Kaisar Aleksander Agung, agama Kristen mulai menyebar dan
mengakar.
Ketika bangsa Barbar melakukan invasi antara abad ke-5 M hingga ke-8 M,
Dardania justru menjadi ‘surga’ yang aman bagi perkembangan bahasa dan
budaya Illyrian—warisan Romawi.
Konstelasi kekuasaan di Dardania kembali berubah antara abad ke-9
hingga abad ke-11. Pada saat itu, dominasi Kekaisaran Byzantium diambil
alih Kerajaan Bulgaria dan tak lama kemudian berpindah lagi ke pelukan
Byzantium.
Pada tahun 1190 M, bangsa Serbia di bawah kekuasaan Dinasti Nemanjic
menginvansi Kosovo dan menguasai wilayah itu hampir selama dua abad.
Kekuasaan Serbia atas Kosovo berakhir ketika pasukan tentara Kerajaan
Usmani atau Ottoman Turki melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah
Tenggara Eropa pada 1389 M.
Dalam
Perang Kosovo Polje, koalisi tentara Kristen termasuk etnis Albania,
Bosnia dan Hunggaria yang dipimpin pangeran Serbia, Lazar Hrebljanovic,
tak mampu membendung gempuran Kerajaan Usmani.
Mulai 1455 M, Dinasti Usmani secara resmi menguasai wilayah Kosovo.
Kehadiran Kerajaan Usmani telah membawa Kosovo menuju era baru.
Seiring jatuhnya Kosovo ke tangan Dinasti Usmani, etnis Albania yang
menyingkir dari tanah kelahirannya ketika Serbia berkuasa, kembali
pulang ke Kosovo. Selama masa itu, kebanyakan orang Albania masih
menganut Kristen.
Di bawah kekuasaan Usmani Turki, orang Albania dan Serbia yang tinggal
di Kosovo bisa hidup berdampingan. Beberapa penguasa Serbia di Kosovo
pun diberi kesempatan untuk tetap berkuasa di Kosovo, namun berada di
bawah Sultan Ottoman.
Perlahan tapi pasti, hampir dua per tiga orang Albania mulai tertarik
untuk memeluk agama Islam. Orang Serbia pun banyak juga yang berpindah
keyakinan dan menjadikan Islam sebagai agamanya.
Namun, sebagian besar orang Serbia tetap berkukuh menjalankan agamanya.
Kerajaan Usmani Turki pun tak pernah memaksa penganut agama lain untuk
masuk Islam.
Umat Kristen Serbia dan Yahudi dilindungi kehidupannya sebagai 'Ahli
Kitab'. Mereka berstatus sebagai dzimmi. Tak ada pembantaian yang
dilakukan umat Islam terhadap penganut Kristen dan Yahudi. Saat itu,
hukum Syariah ditegakkan di bumi Kosovo.
Para penganut Kristen dan Yahudi tetap memiliki hak kepemilikan, namun
diharuskan membayar pajak. Akhir abad ke-17, orang Serbia secara
besar-besaran meninggalkan Kosovo, seiring dengan kemenangan demi
kemenangan yang dicapai tentara Kerajaan Usmani. Sehingga, 'pusat
gravitasi' Serbia beralih ke wilayah Utara, yakni Belgrade. Peristiwa
itu dikenal sebagai great migration.
Keberhasilan
Kerajaan Ottoman Turki menaklukkan Kosovo merupakan sebuah pencapai
yang besar. Apalagi, wilayah itu kaya akan sumber daya mineral.
Tak heran, bila Kosovo menjadi aset penting bagi kesultanan Turki.
Selama periode Ottoman, ada upaya yang begitu gencar untuk mempromosikan
budaya dan bahasa Albania.
Gerakan anti-Usmani mulai mucul di Kosovo pada 1689 di bawah pimpinan uskup Katolik, Pjetr Bogdani.
Ia mengumpulkan 20 ribu tentara untuk membantu Austria menggempur
Turki. Seiring dengan kekalahan yang dialami Kerajaan Usmani dalam
Perang Russo-Ottoman pada 1878, Serbia menguasai Mitrovica dan Pristina
di Kosovo.
Pada 1912, meletus Perang Balkan I. Albania digempur oleh tentara
koalisi Montenegro, Serbia, Bulgaria dan Yunani. Etnis Albania bersekutu
dengan Kerajaan Usmani.
Namun, kekuatan musuh lebih kuat, sehingga peperangan dimenangkan
pasukan koalisi Serbia. Saat itu, penduduk Kosovo yang kebanyakan etnis
Albania melarikan diri ke pegunungan.
Tentara Serbia menghancurkan rumah orang-orang Turki dan Albania.
Mereka menjarah dan membunuh. Kosovo pun akhirnya jatuh kembali ke
tangan Serbia. Pada Konferensi Duta Besar di London tahun 1912, Inggris
memberi kedaulatan kepada Serbia untuk menguasai Kosovo.
Ketika Perang Dunia I meletus, Kosovo diduduki pasukan Austria-Hungaria
dan Bulgaria. Warga Kosovo etnis Albania pun ikut mendukung pasukan itu
melawan Serbia. Sekolah bahasa Albania dibuka untuk mengikis pengaruh
Serbia. Pada 1918, tentara Serbia balas dendam. Tentara Serbia membantai
wanita, anak-anak, dan menghancurkan rumah penduduk Kosovo.
Setahun kemudian, perdamaian pun tercapai dengan berdirinya negara baru
bernama Yugoslavia yang terdiri dari Slovenia, Kroasia, Serbia,
Boznia-Herzegovina, Montenegro, dan Macedonia.
Kala itu, Kosovo kembali berada di bawah sayap Serbia. Saat itu,
penduduk Yugoslavia mencapai 12 juta jiwa, 400 ribu di antaranya adalah
etnis Albania yang mayoritas beragama Islam.
Jejak Kerajaan Usmani di Kosovo
Kerajaan Usmani Turki begitu banyak meninggalkan warisan peradaban di
Kosovo. Sayangnya, peninggalan bersejarah yang begitu berharga
kebanyakan telah hancur akibat konflik berdarah di kawasan Balkan itu.
Tentara Serbia, selain membunuhi warga etnis Albania dalam konflik yang
terjadi di era-1990-an, juga banyak sekali membumihanguskan peninggalan
Kerajaan Usmani Turki.
Beberapa peningggalan sejarah yang dibangun Kerajaan Usmani itu antara
lain dua buah jembatan di Gjakova. Kedua jembatan peninggalan abad ke-15
M itu bernama Ura e Terzive dan Ura e Tabakeve. Warisan yang
ditinggalkan Kerajaan Usmani juga begitu kental terlihat dari gaya
arsitektur di Kosovo.
Arsitektur perumahan di perkotaan Kosovo peninggalan abad ke-15 bernama
konak atau shtepia. Selain itu juga dikenal perumahan yang berbentuk
menara dari batu yang disebut kulla.
Andrew Herscher dan Andras Riedlmayer dalam tulisannya berjudul Architectural Heritage in Kosovo: A Post-War Report, memaparkan peninggalan Kerjaan Usmani juga terlihat dari bangunan masjid, tekkes (rumah kecil tempat para sufi), medreses (sekolah agama), perpustakaan Islam, hamam (tempat mandi orang Turki), dan pasar.
''Warisan peninggalan itu mengalami kerusakan yang parah akibat konflik,'' tulis Herscher dan Riedlmayer.
Salah satu bangunan masji terkemuka di Kosovo peninggalan Kerajaan
Ottoman adalah Masjid Bayrakli (Masjid Al-Fatih). Masjid itu dibangun
pada abad ke-15 M oleh Sultan Mehmet Al-Fatih.
Sayang masjid itu dihancurkan tentara Serbia pada Juni 1999. Pada tahun
1993, tercatat terdapat 607 unit masjid di Kosovo. Hampir 200 unit di
antaranya dihancurkan Serbia.
Benih Kebencian yang Tersemai di Balkan
Setelah terbentuknya Yugoslavia, benih kebencian antara etnis Serbia dan etnis Albania di Kosovo terus tumbuh seperti kecambah.
Hubungan kedua etnis kian memanas ketika pada 1921, warga etnis Albania
di Kosovo meminta Liga Nasional untuk bergabung dengan Albania pada
1921.
Mereka menguak fakta bahwa selama 1918 hingga 1921, Serbia telah
membantai 12 ribu etnis Albania. Sekitar 22 ribu orang dipenjara Serbia.
Namun, permintaan rakyat Kosovo untuk bergabung dengan Albania tak
digubris Liga Nasional.
Ketika Perang Dunia II meletus, Albania dikuasai Italia pada 1939.
Jerman menguasai Yugoslavia meliputi Serbia serta Macedonia. Saat itu,
Kosovo dikuasai oleh etnis Albania, namun wilayah pertambangan yang
penting masih dikuasai Jerman. Ketika itu, 100 ribu etnis Albania
kembali berdatangan ke Kosovo dan membuat etnis Serbia tersinggkir.
Pasca-Perang Dunia II, Yugoslavia menjanjikan otonomi khusus kepada
Kosovo. Namun, janji itu tak terbukti. Pada 1946, konstitusi tak
menjamin adanya otonomi khusus bagi Kosovo. Pada tahun 1967, Presiden
Yugoslavia, Josip Bros Tito, untuk pertama kalinya berkunjung ke Kosovo.
Dia mendesak pemimpin Serbia menyingkir dari Kosovo.
Kebijakan Tito itu membangkitkan nasionalisme etnis Albani di Kosovo.
Jumlah etnis Kosovo pun semakin bertambah dari 67 persen menjadi 74
persen. Pada tahun 1981, jumlah etnis Albani di Kosovo bertambah menjadi
77 persen menyusul hengkangnya 100 ribu etnis Serbia. Sepeninggal Tito,
etnis Albania seperti anak ayam kehilangan induknya.
Gerakan dan tuntutan kemerdekaan Kosovo pun terus disuarakan etnis
Albania. Upaya pertama untuk memerdekakan diri pada tahun 1990 gagal,
karena diserbu Serbia. Pertarungan yang tidak seimbang antara Serbia
dengan gerilyawan Kosovo atau KLA ini menimbulkan tragedi pembantaian
dan pengungsian besar-besaran.
Pada perang 1998-1999, tentara Serbia membantai tak kurang dari 10 ribu
etnis Albania yang dianggap mendukung kemerdekaan Kosovo. NATO yang
dipimpin oleh Amerika Serikat mengusir Serbia dengan serangan udara
selama 78 hari.
Kosovo kemudian berada dibawah perlindungan PBB dan NATO. Usaha
kemerdekaan Kosovo kali ini mendapat dukungan hampir sepertiga
negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan negara yang
menolaknya adalah Serbia dan Rusia.
|
No comments:
Post a Comment