Penguasa pertama kerajaan Batulicin adalah Ratu Intan I puteri Ratu Mas.[1] Ratu Mas bin Pangeran Mangu adalah penguasa terakhir kerajaan Tanah Bumbu sebelum dipecah menjadi beberapa wilayah kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan oleh Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus) putera Sultan Saidullah, raja Banjar. Pada Tahun 1870 wilayah kerajaan Tanah Bumbu dibagikan kepada anak-anak Ratu Mas yaitu Pangeran Prabu dan Ratu Intan I. Pangeran Prabu memperoleh wilayah utara yang berpusat di negeri/Kerajaan Bangkalaan, sedangkan wilayah selatan (Cantung dan Batulicin) diberikan kepada Ratu Intan I.[2] Pada 4 Mei 1826, Sultan Adam (raja Banjar) menyerahkan wilayah Batulicin kepada Hindia Belanda.
Sejak tahun 1860[rujukan?] wilayah Kerajaan Batoe Litjin menjadi suatu wilayah pemerintahan swapraja yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda. Pemerintah daerah swapraja tersebut dikuasakan kepada seorang kepala bumiputera yaitu Pangeran Syarif Hamid, seorang Arab dari Batavia, bukan keturunan Sultan Banjar. Atas perintah Belanda, Pangeran Syarif Hamid inilah yang berhasil menangkap Demang Lehman, salah seorang pemimpin Perang Banjar-Barito.
Batoe Litjin dan negeri-negeri lainnya dalam wilayah Tanah Bumbu merupakan daerah-daerah landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178. Pada masa Republik Indonesia Serikat, wilayah ini termasuk ke dalam Dewan Pagatan bagian dari Federasi Kalimantan Tenggara.[rujukan?] Sekarang wilayah swapraja ini menjadi kecamatan Simpang Empat, Batulicin, Mentewe, Karang Bintang. Batulicin sekarang merupakan ibukota dari Kabupaten Tanah Bumbu. Wilayah Kabupaten Tanah Bumbu tidak sama dengan wilayah bekas Kerajaan Tanah Bumbu.
Kepala Pemerintahan
- Ratu Intan I anak dari Ratu Mas bin Pangeran Mangu bin Pangeran Dipati Tuha, menjadi Ratu Cantung dan Batulicin (1780-1800). Ratu Intan I menikah dengan Sultan Anom IV Aji Dipati dari Kesultanan Pasir, tetapi tidak memiliki keturunan.
- Gusti Besar binti Pangeran Prabu (1820-1825) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung, Batulicin. Gusti Besar berkedudukan di Cengal. Cantung dan Batulicin diserahkan sepeninggal Ratu Intan. Gusti Besar menikahi Aji Raden yang bergelar Sultan Anom dari Kesultanan Pasir. Sultan Sulaiman dari Pasir menyerbu dan mengambil Cengal, Manunggul, Bangkalaan, dan Cantung, tetapi kemudian dapat direbut kembali.
- Pangeran Aji Muhammad bin Sultan Anom IV Aji Dipati, berkedudukan di Sela Selilau. Sultan Anom IV (Aji Dipati) adalah suami dari Ratu Intan I, tetapi dari perkawinan tersebut Ratu Intan I tidak memperoleh keturunan. Dari selir Sultan Anom memperoleh anak: Pangeran Aji Muhammad, Andin Kedot, Andin Girok, Andin Proah.
- Pangeran Aji Musa bin Pangeran Aji Muhammad, sebagai Raja Batulicin (1832) kemudian merangkap sebagian Raja negeri Bangkalaan (1838-1840). Ia mangkat tahun 1840. Pangeran Aji Musa menikahi puteri Sultan Sulaiman yaitu Ratu Salamah yang digelari Ratu Aji Musa.
- Pangeran Panji bin Pangeran Aji Musa
- Aji Landasan binti Raja Jawa/Pangeran Aji Jawi (isteri Pangeran Panji, tidak memiliki keturunan)
- Daing Magading (suami Aji Landasan, tidak memiliki keturunan, saudara Arung Botto)
- Pangeran Muhammad Nafis bin Pangeran Aji Musa.
- Pangeran Abdul Kadir bin Pangeran Aji Musa, dikenal sebagai Raja Kusan, Batulicin, Pulau Laut (1845-1860).
- Pangeran Syarif Hasyim al-Qudsi (1860-1864), berkedudukan di Batulicin[3]
- Pangeran Syarif Thoha (1883-1885) sebagai Raja Batulicin, kemudian juga menjadi Raja Pagatan dan Kusan. Ia menikah dengan Mutajeng puteri La Paliweng Arung Abdul Rahim, Raja Pagatan dan Kusan sebelumnya.
- Pangeran Syarif Ahmad
No comments:
Post a Comment