UMAT MUSLIM UGANDA MENGHADAPI TENTANGAN
Islam agama pertama yang datang dari luar Uganda. Penduduk Uganda sebelum itu masih menganut animisme, Islam masuk tahun 1844, 33 tahun sebelum datangnya misionaris Nasrani yang pertama. Islam agama pertama yang mengajarkan kepada masyarakat Uganda hak-hak asasi manusia melawan pembunuhan sewenang-wenang di bawah ketentuan adat Kabaka (Raja) dari Kerajaan Tua Buganda. Islam masuk melalui para pedagang Arab. Perdagangan ini bukanlah suatu kebetulan. Ini perdagangan yang penuh berkah. Memang benar pedagang Arab pertama yang datang ke Uganda tidak sepenuhnya mendakwahkan Islam. Namun kedatangan Islam itu sendiri suatau keberkahan bukan suatu kebetulan. Hanya saja di Uganda masyarakatnya kurang terbuka menerima keberkahan itu. Salah seorang Raja Buganda, Mutesa I sebagai contoh, mempraktekkan Islam dan menawrakan untuk menjadikan kerajaannya sebagai kerajaan Muslim dengan satu syarat dia diperkenankan untuk tidak dikhitan karena hukum adat kerajaan melarang raja dikhitan. Pedagang-pedagang Arab itu menolak. Inilah awal kesalahan dalam memperoleh keberkahan ini. Akibatnya orang-orang Nasrani Uganda yang datang 33 tahun kemudian, selalu berada di depan.
Pertanyaan mengenai keterbelakangan kaum Muslim terus menggelayut. Orang muslim maupun orang Nasrani mencoba mengemukakan berbagai alasan atas keterbelakangan kaum Muslim terutama di bidang pendidikan. Orang-orang Muslim melihat pertama kali dengan sebelah mata, konservatif dan memandang negatif pendidikan Barat. Anggapan ini disitir orang-orang non-Muslim dan elit muslim sekuler. Oleh umat muslim pernyataan itu ditanggapi dengan positif. Karena, kalau tidak kaum muslim pada saat itu, bisa mengalami kesulitan. Mereka semuanya pasti telah tersapu bersih oleh pendidikan Barat sehingga beragama Nasrani semuanya. Dapat ditandaskan juga, bahwa umat Muslim di Uganda mau menerima pendidikan Barat namun tetap konsisten dalam syari’at Islam dan perbuatan yang Islami.
Selain itu tidak adanya duat yang pakar dalam ilmu-ilmu Islam. Terlihat, kaum Muslim 30 tahun masuk lebih awal dari orang-orang Nasrani, tapi perkembangannya cukup tertinggal. Ada juga yang menyalahkan sistem sekolah karena tidak memberikan sesuatu kepada kaum Muslim, kecuali kemampuan membaca Al-qur’an dan shalat. Anggapan lain atas kemunduran kaum Muslim karena adanya golongan-golongan dan perselisihan antara kaum Muslim sejak 1920-an, dan melupakan apa yang seharusnya diutamakan.
Pemerintah kolonial mengetahui sekali sikap buruk Misionaris Nasrani terhadap Islam dengan menyerahkan sistem pendidikan nasional kepada mereka. Namun perlu juga diingat pemerintah kolonial sendiri juga bersikap buruk terhadap Islam. Ini terlihat, pada tahun 1920-an, pemerintah kolonial jelas-jelas melakukan penumpasan terhadap Islam. Anggapan lain atas kemunduran ini menyatakan kaum Muslim sedang bangun. Mereka tertarik di bidang perdagangan sopir taksi dan membangun tempat pemotongan hewan yang semuanya itu lebih menghasilkan banyak pendapatan daripada bidang pendidikan. Anggapan ini kadang-kadang diberikan tambahan yang tidak pas oleh orang-orang yang tidak suka pada Islam.
Orang-orang misionaris secara terang-terangan menghadapi umat Muslim Uganda dengan rasa permusuhan. Mereka sangat memandang Islam sebagai sebuah agama rival dan takut Islam dapat menjadi dominan di Afrika Timur. Pada tahun 1900, setelah kolonialisme angkat kaki dari Uganda, Uskup Anglikan menulis surat ke Gubernur di Uganda yang isinya meminta pemerintah baru melindungi Distrik Busoga dari Islam. Pada tahun 1904, Pendeta Willis yang kemudian menjadi Uskup Anglikan untuk Uganda, mengisyaratkan ketakutan mereka bahwa dalam beberapa tahun Uganda menjadi “Mohammedan.” Pada tahun 1906, Pendeta Willis juga mengeluh terhadap jaringan kereta api dari Pantai Afrika Timur yang membawa Uganda dalam gelombang pengaruh orang Islam. Akibatnya ia mengingatkan semua misionaris yang bekerja di Uganda untuk bersiap-siap menghadapi “bahaya Mohammedan”.
Pada 1907, Pendeta Grabtree menekankan melakukan lebih banyak lagi kerja-kerja misionaris di propinsi Timur Uganda, untuk melawan penyebaran Islam. Pendeta Rowling dari Namirembe, berpendapat bahwa ia menentang pengajaran bahasa Kishahili (sebuah bahasa di kawasan Afrika Timur) di Uganda, karena akan meningkatkan pengaruh Islam di negara itu. Uskup Gessian berpendapat bahwa orang-orang Muslim tidak mempunyai moral dan suka berbohong. Untuk mendidik mereka, menurutnya, merupakan perbuatan yang sia-sia. Dalam kaitan ini orang-orang misionaris berupaya penuh berada di dalam pendidikan Muslim. Pada tahun 1905, George Wilson, Gubernur Uganda, mengusulkan sebuah sekolah dibuat untuk orang-orang Islam, namun pihak Uskup Anglikan Tucker jelas-jelas memprotesnya. Ia berpendapat kontribusi pemerintah dalam bidang pendidikan seharusnya diberikan kepada sekolah misionaris.
Pendeta Willis, pengganti Uskup Tucker juga menentang ide Eric Hessey mengenai pembangunan sekolah dasar dan menengah bagi orang-orang Muslim. Ia tekankan bahwa orang-orang Islam tidak memberi sumbangan apa-apa terhadap pemerintah, dan tidak ada alasan membangun sekolah-sekolah bagi mereka. Sikap misionaris yang menghalangi kemajuan pendidikan Muslim mempunyai pengaruh yang buruk hingga sekarang. Selain itu, mereka sering mengeluarkan orang-orang Islam dari sekolah-sekolah mereka. Karena orang Islam pada waktu itu tidak memandang pendidikan sekuler sebagai pendidikan yang penting dan meninggalkan sistem pendidikan misionaris ini, sehingga didominasi oleh anak-anak Nasrani yang di masa depan menjadi pemimpin-pemimpin negara Uganda. Muslim Uganda tengah menghadapi tantangan yang tidak ringan.(Imron Nasri)
Sumber: SM-19-2002
No comments:
Post a Comment